Membendung Arabisasi Ala Abdul Moqsith Ghazali

Kamis, 30 Oktober 2008


Saya tertarik menanggapi tulisan Abdul Moqsith Ghazali di situs Islamlib.com yang berjudul Ulama Arab dan Ulama Indonesia. Sebagai seorang yang ingin bersikap objektif, saya akui tulisan Abdul Moqsith Ghazali ini punya semangat positif yang harus diapresiasi yaitu bahwa tidak ada bedanya antara Arab dan ‘Ajam, tidak ada bedanya antara ulama Arab dan ulama ‘Ajam, yang membedakan satu dengan yang lain hanyalah kualitas ketaqwaan dan keilmuwannya. Saya yakin kita semua sepakat dengan hal ini.

Tapi, kita patut curiga dengan tulisan dari Abdul Moqsith Ghazali tersebut karena sepak terjangnya dan kelompok JIL-nya yang selama ini selalu berusaha menghancurkan Islam dan ajaran Islam yang mulia dari dalam. Kecurigaan ini menjadi semakin berdasar ketika kita membaca utuh tulisannya tersebut. Coba kita analisa secara sederhana beberapa kutipan tulisannya di artikel tersebut.

“Sementara para ulama non-Arab dianggap pinggiran dan karya-karyanya dipandang sebelah mata. Ini, salah satunya, karena ulama non-Arab diposisikan sebagai orang `ajam (asing) yang tak cukup memadai untuk memahami detail dan seluk beluk ajaran Islam, agama yang memang pertama kali lahir di Arab. Jika orangnya dianggap `ajam, maka kitab-kitabnya pun dianggap ghair mu`tabarah (kurang absah), sehingga tak pantas menjadi referensi umat Islam.”

Dari kutipan paragraf diatas, kita bisa melihat bahwa ada pernyataan yang membabi buta dari seorang Abdul Moqsith Ghazali yang seakan-akan ingin memprovokasi umat Islam Indonesia bahwa ada ketidak adilan dalam dunia Islam. Seakan-akan karya ulama non-Arab dianggap tak bermutu dan tak berguna di dunia Islam. Pernyataan ini jelas berbahaya karena akan semakin memicu perpecahan dunia Islam yang memang sekarang sudah pecah. Pernyataan ini juga ternyata tak benar-benar sesuai fakta karena ada banyak karya ulama Indonesia kontemporer yang diakui di dunia internasional, misalnya: DR. Sayyid Muhammad Aqil al-Mahdaly (Bugis) dari ‘Ain Syams, yang telah mengarang lebih 50 judul buku tentang aqidah dan filsafat dan diterbitkan oleh Darul Hadits Mesir; DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni (Bugis) dari Cairo Univ. thesis master beliau (Masail alal-I’tiqadiyah Inda al-Imam al-Qurthubi) di cetak oleh Muassasah al-’Alya Mesir th 2006. dan Thesis Ph.D (Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli as-Sunnah Min Aqidah al-Bathiniyah wa Falsafatuha) tahun ini sedang proses cetak di Darul Kutub al-Ilmiah, Beirut. Itu baru beberapa contoh dari sekian banyak karya ulama Indonesia yang diakui dunia Islam.

“Keulamaan dalam Islam makin kuat beraroma Arab-Timur Tengah. Para ilmuwan dari sana menjadi kiblat dan kitab-kitabnya serta fatwa-fatwanya menjadi rujukan umat Islam yang tinggal di kawasan lain. Dahulu, Ratu Kamalat Sjah dimakzulkan sebagai Ratu Kerajaan Aceh Darussalam (tahun 1699), setelah ulama Mekah mengharamkan perempuan menjadi pemimpin atau ratu. Sebagian ulama nusantara pernah menolak Megawati sebagai (calon) presiden berdasar pada fatwa ulama Arab. Ketika terjadi soal atau kasus di suatu kawasan, para tokoh agama di daerah itu kerap meminta jawaban pada ulama Timur Tengah, seperti Yusuf Qardawi, Wahbah al-Zuhaili, dan lain-lain. Mereka mentaklid pendapat-pendapat yang datang dari sana. Walhasil, Arab merupakan sumber otoritas keulamaan dan parameter kesahihan sebuah tafsir dalam Islam. Sehingga, pengembangan keilmuan Islam pun bisa efektif kalau dilakukan para ulama Arab-Timur Tengah.”

Dari konstruksi tulisan Abdul Moqsith Ghazali diatas, jelas ada upaya penyesatan terhadap pemahaman umat Islam. Contoh yang digunakan untuk menunjukkan hegemoni ulama Arab atas ulama Indonesia adalah tentang keharaman perempuan sebagai penguasa. Disini Abdul Moqsith Ghazali ingin mengambil dua keuntungan sekaligus, pertama dia ingin menunjukkan bahwa selama ini kita terlalu percaya dengan ulama Arab-Timur Tengah dan sebaliknya menafikan keberadaan ulama Indonesia, dan yang kedua, dia ingin menunjukkan bahwa keharaman perempuan sebagai penguasa hanya pendapat ulama Arab yang masih sangat perlu untuk diperdebatkan. Padahal kalau kita mau menelaah kitab-kitab klasik dan kontemporer tulisan ulama seluruh dunia, bukan hanya Arab tapi juga Andalusia, India, Asia Tengah termasuk Indonesia, jelas sekali tidak ada perbedaan pendapat bahwa perempuan haram menjadi penguasa. Hanya cendekiawan keblinger yang menentang pendapat ini.

Jelas, ada motif tersembunyi dari tulisan Abdul Moqsith Ghazali ini, yaitu penentangan terhadap Islamisasi di Indonesia. Kalangan liberal, yang merupakan antek zionis, berusaha sekuat tenaga untuk membendung semakin berkembangnya Islam politik yang mengusung ide penerapan Syariah Islam secara kaffah dan persatuan asasi umat Islam. Mereka mencoba menghembuskan keburukan ide Islamisasi yang disama artikan dengan Arabisasi. Mereka menyebarkan teror bahwa dengan Islamisasi dan Arabisasi umat Islam Indonesia akan kehilangan identitasnya dan akan terpinggirkan. Mereka kemudian mencoba merusak konstruksi Syariah Islam yang sudah baku dengan mewacanakan Fiqh Indonesia, yang sangat kelihatan tak berdalil tapi tapi lebih banyak bertendensi hawa nafsu. Mereka juga mencoba meruntuhkan kewibawaan ulama Arab-Timur Tengah, salah satunya dengan tulisan Abdul Moqsith Ghazali tersebut, kemudian menawarkan ‘ulama Indonesia’ dari kalangan mereka sendiri seperti Nurcholis Madjid, Masdar F Mas’udi, Ulil Abshar Abdalla termasuk Abdul Moqsith Ghazali sendiri untuk dijadikan rujukan umat Islam Indonesia.

Baca selengkapnya...

Wacana Kebenaran Islam Pluralis

Selasa, 28 Oktober 2008


Dengan melepas klaim-klaim kebenaran dan penyelamatan yang berlebihan, mengoreksi diri tentang standar ganda yang sering kita pakai terhadap agama orang lain, dan selanjutnya memperluas pandangan inklusif mengarah kepada pandangan yang pluralis dari teologi kita sendiri, agama-agama akan mempunyai peranan penting di masa depan, dalam membangun dasar spiritualitas dan peradaban masyarakat kita. “Kita para penganut agama akan bertemu dalam the road of life (jalan kehidupan yang sama).” Kata Bhagavan Das dalam bukunya, The Essential Unity of All Religions (1966: hlm. 604). “Yang datang dari jauh, yang datang dari dekat, semua kelaparan dan kehausan: Semua membutuhkan roti dan air kehidupan, yang hanya bisa didapat melalui kesatuan dengan The Supreme Spirit.”

Kutipan paragraf diatas merupakan sebuah Kata Pengantar dari Budhy Munawar-Rachman dalam bukunya yang lumayan tebal: ISLAM PLURALIS, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Buku yang bermotifkan keinginan untuk membumikan ajaran Islam Pluralis di tengah masyarakat muslim Indonesia ini berisikan banyak sekali justifikasi atas keabsahan konsep pluralisme dalam Islam. Saya akan mencoba sedikit mengkritisi buku tersebut, terutama dari bagian tulisan kata pengantar yang saya kutip diatas.

Seperti sudah lazim kita ketahui, ajaran pluralisme didasarkan pada asas ketidakpercayaan terhadap wahyu Tuhan. Hampir setiap tulisan tentang pluralisme dari para pengusung ajaran tersebut berisikan kritik dan sikap skeptis terhadap teks-teks ayat suci yang telah mapan. Dan hanya dengan sikap inilah pluralisme bisa dikembangkan. Jika konsep pluralisme masih mengacu pada ayat suci semisal Al-Qur’an maka konsep tersebut akan runtuh sebelum ia sempat dibangun. Maka yang harus menjadi landasan sikap kita ketika menganalisa hasil pemikiran dari para pengusung pluralisme adalah bahwa mereka merupakan kelompok orang yang tidak mempunyai keimanan terhadap wahyu Allah sehingga setiap hasil pemikiran mereka berasaskan kekufuran.

Dari kutipan kata pengantar buku ISLAM PLURALIS diatas, dapat kita lihat beberapa kesalahan mendasar dari pemikiran mereka. Yang pertama adalah kewajiban untuk melepas klaim-klaim kebenaran dan konsep penyelamatan dari semua agama. Artinya kalau kita mau menjadi seorang muslim pluralis kita harus melepaskan keyakinan akan kebenaran agama yang kita anut. Mari kita bandingkan pemahaman ini dengan teks Al-Qur’an: “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) darinya.” (TQS. Ali Imran: 85). Coba saja sampaikan ayat ini kepada pengusung ajaran pluralisme Islam, tentu mereka akan mengatakan bahwa ayat ini perlu ditafsirkan ulang agar sesuai dengan pemahaman mereka. Atau mungkin lebih ekstrim, mereka akan mengatakan bahwa ayat ini sebenarnya hanya merupakan tambahan yang dimasukkan oleh cendekiawan muslim klasik ke dalam mushaf.

Yang kedua, adalah tuduhan mereka bahwa muslim yang tidak mengikuti paham pluralisme menggunakan standar ganda terhadap agama orang lain. Coba kita simak kutipan dari bagian lain kata pengantar Budhy Munawar-Rachman: “Dalam soal teologi misalnya, standar yang menimbulkan kebingungan itu adalah standar bahwa agama kita adalah agama yang paling sejati berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain adalah hanya konstruksi manusia –atau mungkin juga berasal dari Tuhan, tapi telah dirusak oleh konstruksi manusia. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agama kita sendiri”. Secara halus, sang penulis ingin menyesatkan pemikiran umat Islam dengan pernyataan bahwa ada dua kemungkinan yang sama-sama mungkin yaitu semua agama benar atau semua agama salah. Jelas sekali pemahaman ini berbeda dengan konsep kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhai Allah SWT. “Dan telah kuridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian”. (TQS Al-Maidah: 3). Ditambah dengan pernyataan Allah pada Ali Imran ayat 85 yang saya tulis diatas, jelas sekali Al-Maidah ayat 3 ini menunjukkan mafhum mukhalafah bahwa selain agama Islam tidak diridhai oleh Allah SWT.

Yang ketiga, adalah kebingungan para pengusung pluralisme tentang konsep kebenaran itu sendiri. Berbagai pernyataan dan teori yang mereka sampaikan yang kelihatannya sangat ilmiah, menunjukkan kelemahan cara berpikir mereka. Mereka hanya mampu menunjukkan kesalahan beragama para penganut agama sekarang –ini menurut klaim mereka– tapi sepertinya mereka tak pernah mampu menunjukkan kebenaran itu sendiri. Coba saja rangkai berbagai tulisan mereka kemudian kita lihat secara seksama, maka kita akan menemukan keanehan dan keganjilan dari pemikiran mereka yang disebabkan oleh kebingungan mereka. Dan itu merupakan konsekuensi wajar terhadap orang yang tak mau beriman terhadap ayat-ayat Allah SWT.

Baca selengkapnya...

Tak Sekedar Kesuksesan Dunia


Ada cerita menarik yang menggugah batin saya dalam buku Berani Kaya, Berani Takwa tulisan Ust. Anif Sirsaeba. Di awal buku tersebut, ust. Anif menceritakan seseorang yang kaya raya. Segala fasilitas dia punya. Segala kemewahan dunia dia raih. Mobil, rumah, anak, istri, dan lain sebagainya, dimilikinya dengan sempurna. Tapi ia pelit (bakhil) dalam arti sesungguhnya. Ia angkuh dengan kekayaannya. Seolah ia tak butuh dengan tetangganya. Apalagi dengan orang lain yang lebih jauh. Ia berpikiran bahwa uang, kekayaan, materi adalah segala-galanya. Dengan orang yang lebih miskin ia tak mau menyapa. Ada orang meminta bantuan kepadanya, ia malah menghardiknya. Apa buah yang diraihnya? Semua orang membencinya. Semua orang mendoakannya yang tidak-tidak. Bahkan, seolah telah menjadi kesepakatan umum, ia dikucilkan oleh tetangganya. Ia tidak dihormati sama sekali. Perlakuan masyarakat seperti itu akhirnya membikin dia stres, sakit, jiwanya guncang. Dan pamungkasnya, dia meninggal dalam keadaan gila dalam arti yang sesungguhnya. Na’udzubillah!

Apakah kekayaan merupakan kehinaan? Saya rasa tidak. Allah Swt sendiri telah memerintahkan kita untuk kaya. Ya, harus kaya. Kalau tidak kaya, kita tidak akan bisa mengeluarkan zakat dan infaq fi sabilillah. Kalau tidak kaya, kita tidak akan bisa membiayai orang-orang yang berjihad atau orang-orang yang menuntut ilmu. Kalau tidak kaya, kita tidak akan bisa melaksanakan ibadah haji. Miskin itu tidak enak. Miskin itu susah. Bahkan miskin itu mendekatkan kita pada kekufuran. Na’udzubillahi min dzalik! Rasulullah itu kaya. Dia pedagang tangguh dan ulung. Khadijah istrinya adalah enterpreneur paling sukses dan paling kaya saat itu. Kalau begitu, mengapa kekayaan bisa menghinakan, bahkan membuat pemiliknya meninggal dalam keadaan gila?

Ternyata ada kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh orang yang diceritakan ust. Anif Sirsaeba tersebut. Dia mencari kekayaan agar dihormati dan dihargai oleh orang lain. Ia berpikir hanya dengan kekayaanlah ia bisa dihormati. Inilah pemahaman keliru, yang menyebabkan dia terhina di dunia dan mungkin juga di akhirat.

Apakah fenomena ini hanya berlaku bagi pencari kekayaan. Saya rasa ini hanya salah satu contoh. Contoh, bahwa motivasi yang keliru bisa menghancurkan segalanya. Kekayaan yang telah dirintis berpuluh tahun, ternyata tak menghasilkan kebahagiaan dalam arti sesungguhnya di dunia dan akhirat. Kekayaan tersebut ternyata malah menyebabkan hidup pemiliknya tak tenang dan bahkan meninggal dalam keadaan gila. Kekayaan, yang seharusnya untuk mempermudah diri mencapai derajat takwa, ternyata dicari untuk mendapatkan kehormatan dan penghargaan manusia. Sebuah kekeliruan motivasi. Dan ini bukan hanya pada kekayaan materi, ini juga terjadi pada ilmu.

Ilmu yang dituntut para pencari ilmu, akan mampu membawa orang pada derajat tertinggi di dunia dan di akhirat. Tapi, ilmu juga bisa menjatuhkan para pencari dan pemiliknya pada tingkat kehinaan tertinggi di sisi Allah. Lagi-lagi, karena motivasi. Ilmu yang digunakan untuk menyebarkan kebaikan dan rahmat bagi sebanyak-banyaknya orang, akan menyebabkan pemiliknya mencapai derajat takwa. Sedangkan, ilmu yang digunakan untuk meraih ridha manusia, mengharap penghormatan dan penghargaan dari orang lain akan mengakibatkan kehinaan bagi pemiliknya. Ilmu yang dimilikinya tak bermanfaat, kecuali menambah jauh dari Allah Swt. Bukan kemuliaan yang didapatkannya, tapi kehinaan di sisi manusia dan di sisi Allah Swt. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah tsumma na’udzubillah min dzalik!

Baca selengkapnya...

Dakwah Para Pewaris Nabi


Ketika umat Islam sudah tak kenal lagi agamanya, ketika ajaran Islam sudah tak diindahkan lagi, ketika Syariah Islam dicampakkan di tempat sampah, kita butuh dakwah. Dakwah yang akan mengembalikan kesadaran umat Islam akan pentingnya menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai petunjuk hidup. Dakwah yang akan membuka mata dunia bahwa hanya pada Islam lah terdapat kebahagiaan sejati dan keselamatan. Dakwah yang bertujuan untuk mengembalikan kehidupan Islam seperti kehidupan pada masa Rasulullah SAW dan para Shahabat Radhiyallahu ‘anhum.

Dakwah merupakan aktivitas yang teramat mulia, bahkan pekerjaan yang paling mulia. Aktivitas ini merupakan aktivitas utama para Nabi dan Rasul di setiap zaman, dan adakah manusia yang lebih baik daripada para Nabi dan Rasul? Sebuah keniscayaan, setiap orang yang meneladani aktivitas para Nabi dan Rasul tersebut tentu juga akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah. Tapi, apakah setiap orang yang berdakwah akan mendapatkan kemuliaan seperti para Nabi dan Rasul? Apakah setiap orang yang menyandang status pengemban dakwah berarti mereka adalah orang yang mulia?

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada (agama) Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata sesungguhnya aku ini termasuk golongan orang-orang muslimin.” [QS. Fushshilat: 33]. Ayat ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan kemuliaan para pengemban dakwah. Betapa tidak, dengan sebuah pertanyaan retoris, Allah menyatakan bahwa tidak ada perkataan yang lebih baik dari pada kata-kata dakwah. Luar biasa. Berarti secara otomatis, setiap pengemban dakwah adalah orang mulia yang melakukan pekerjaan besar dan terbaik di sisi Allah. Iya kan?

Dalam kitab Riyadush Shalihin yang sangat terkenal itu, terdapat hadits yang juga sangat dikenal dan dicantumkan di urutan pertama kitab kumpulan Hadits tersebut. Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim yang jalur sanadnya sampai pada Rasulullah melalui Umar bin Khattab, Amirul Mu’minin, menyatakan bahwa setiap amal (tentu yang dimaksud adalah semua amal yang baik) akan mendapatkan nilai di sisi Allah tergantung dari niat pelakunya. Jika amal tersebut diniatkan untuk mengharapkan Ridha Allah, maka pelakunya akan mendapatkan Ridha Allah dan surga-Nya di akhirat kelak. Tapi, jika amal tersebut diniatkan karena selain Allah, maka jangan pernah berharap mampu melihat wajah Allah di surga kelak. Amal yang dimaksud hadits ini bersifat umum, termasuk amal dakwah.

Para pengemban dakwah pun juga terkena kewajiban untuk ikhlas dalam amal dakwahnya. Tidak boleh berdakwah, kecuali dengan niat mengharapkan Ridha Allah. Rasanya ini sudah sangat dipahami oleh semua da’i. Setiap da’i tentu telah tahu bahwa dalam setiap amalnya dia harus ikhlas. Tapi, begitu mudahkah sifat ikhlas tersebut mengikuti amal dakwah?

Pernah terdengar satu kalimat yang diucapkan oleh seorang yang menyandang status pengemban dakwah. Dan rasanya kalimat ini perlu ditelaah kembali kebenarannya. Aktivitas dakwah ini ternyata memang mengharuskan keikhlasan, bahkan kita susah untuk tidak ikhlas. Bahkan kita susah untuk tidak ikhlas, inilah kalimat tersebut. Benarkah dalam aktivitas dakwahnya, setiap pengemban dakwah susah untuk tidak ikhlas? Berarti mereka telah menilai bahwa mereka adalah orang yang ikhlas?

Entah seperti apa jalur periwayatan kalimat ini, yang jelas kalimat ini bukan cuma dikatakan oleh satu orang. Bahkan, kalimat ini seakan-akan merupakan sebuah slogan untuk membesarkan hati para pengemban dakwah, sebuah kalimat motivasi. Yang menjadi pertanyaan, apakah kalimat ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya?

Kalimat tersebut biasanya keluar dalam kondisi kelelahan dalam menjalankan aktivitas dakwah berjamaah. Kita sudah sangat paham, salah satu karakteristik dakwah berjamaah yang selama ini dipahami adalah bahwa tidak setiap pengemban dakwah harus bicara di depan umum. Berdakwah bisa dengan menjadi panitia sebuah seminar dakwah, misalnya seksi konsumsi, yang tak ada hubungannya dengan cuap-cuap di hadapan orang banyak. Biasanya juga, orang-orang yang menjadi panitia kegiatan tersebut, apalagi yang hanya menjadi anggota seksi, adalah orang yang termarjinalkan. Tidak seperti sang pembicara seminar yang mendapatkan tepuk tangan meriah plus amplop tipis, atau ketua panitia yang mendapat pujian selangit jika acara seminar berlangsung sukses, anggota seksi tak pernah mendapatkan keberuntungan tersebut. Paling baik, mendapatkan ucapan terima kasih dan terhindar dari kemarahan ketua panitia. Dalam kondisi seperti itu, mencuatlah kalimat tersebut sebagai motivasi agar tidak futur.

Kondisi lain misalnya adalah ketika seorang ketua umum lembaga dakwah, ketika menyiapkan sebuah kegiatan dakwah yang cukup besar ternyata tak mendapatkan dukungan dari yang lain. Dari menjadi ketua panitia, memimpin rapat, menjadi seksi konsumsi sampai menjadi mc harus dilakukan oleh dirinya sendiri. Akhirnya untuk menghibur diri, keluarlah kalimat tersebut dari lisannya. Pertanyaannya sekarang, dalam kondisi seperti itu, apakah ucapan tersebut benar-benar menunjukkan keikhlasannya atau sekedar untuk menutupi kekecewaan dirinya karena tak mendapatkan penghargaan yang semestinya?

Jawabannya memang tidak bisa kita tentukan, itu kembali ke masing-masing orang. Apalagi keikhlasan adalah urusan hati yang tidak bisa dilihat secara kasat mata. Tapi, bahwa kalimat seperti itu benar seratus persen, sepertinya juga perlu dikoreksi. Keikhlasan tidak bisa hanya diukur dari kepasrahan (kesabaran?) seseorang ketika dalam menjalankan aktivitas dakwahnya ia tidak mendapatkan penghargaan seperti orang lain. Banyak sekali alasan yang bisa diajukan yang mungkin menjadi penyebab kepasrahan orang tersebut selain keikhlasan. Ada orang yang terpaksa menerima begitu saja keadaan dirinya karena khawatir kalau ia memberontak atau menunjukkan ketidak senangan ia akan dikucilkan dari komunitasnya, yaitu komunitas pengemban dakwah. Perlu diketahui, sangat banyak orang yang lebih takut dikucilkan dari sebuah komunitas yang ia eksis didalamnya daripada takut kehilangan harta. Dengan alasan takut dikucilkan, ia kemudian menunjukkan sikap pasrah yang kemudian dikatakan sebagai sikap ikhlas.

Sekarang, kita tilik secara umum, benarkah para pengemban dakwah sangat susah dihinggapi ketidak ikhlasan atau malah sebaliknya. Satu contoh, ada satu orang aktivis dakwah yang menjadi trainer terkenal. Setiap mengisi training ia selalu mampu menghipnotis ratusan peserta untuk menerima apa saja yang ia katakan. Imbalannya, ia mendapatkan sanjung puji dari banyak pihak. Banyak tokoh yang merekomendasikannya. Dengan kondisi seperti ini, kucuran uang juga tak terhindarkan. Pada kasus seperti ini, apakah tepat kalimat susah untuk tidak ikhlas. Dikelilingi oleh berbagai faktor yang mudah memalingkan seseorang dari keikhlasan seperti uang, sanjung puji, dan dikenal banyak orang bak selebritis apakah masih tepat kalimat bahwa pengemban dakwah susah untuk tidak ikhlas.

Dengan status sebagai trainer terkenal, kadang-kadang sang trainer tidak bersedia menjadi trainer untuk training kecil yang pesertanya mungkin masih bisa dihitung dengan jari, dengan alasan memberi kesempatan kepada yang lain. Kecurigaan wajar muncul di pikiran kita, jangan-jangan dia telah bersikap seperti artis top yang tak mau berperan di peran-peran kecil atau berperan di film kurang bermutu. Mungkin dengan alasan sama, agar status kehebatannya tak tercemar dengan menjadi trainer di kegiatan training level rendah.

Itu satu contoh. Bagaimana dengan kebanggaan seseorang memakai status kiyai haji, ustadz, motivator, ustadz gaul, dll. Apakah pengakuan orang tentang status mereka yang ingin didapatkan atau keridhaan Allah SWT. Bagaimana pula dengan orang yang menghidupi dirinya dengan aktivitas dakwah. Menjadi trainer di acara training A mendapatkan bayaran 1 juta, lima kali mengisi training dalam sebulan sudah lima juta yang didapatkan, lebih besar daripada gaji guru. Jadi imam tarawih, sekali dapat 100 ribu, bagaimana jika setiap malam dia menjadi imam tarawih, berapa fulus yang didapatkan. Belum lagi ditambah mengisi pengajian setelah shubuh dan pengajian-pengajian lainnya. Apakah dengan kondisi itu, pengemban dakwah masih susah untuk tidak ikhlas?

Ya, harus kita akui, ternyata menjadi pengemban dakwah sangat rentan dengan ketidak ikhlasan. Perubahan niat mudah sekali terjadi dengan banyaknya godaan duniawi di sekitar pengemban dakwah. Maka, mudah-mudahan kita bisa menjadi pengemban dakwah yang selalu ikhlas dalam setiap aktivitas kita dan benar-benar layak menjadi pewaris Nabi SAW.

Baca selengkapnya...

Perlu Lebih Dari Sekedar RUU Pornografi


Dua arus besar penyikapan RUU Pornografi yang berkembang di masyarakat sekarang ini, yaitu mendukung RUU dan menolak RUU harus diimbangi dengan arus baru yang tidak terjebak pada ekstrim kanan dan ekstrim kiri tersebut. Menolak RUU Pornografi dengan argumen bahwa RUU tersebut akan mengekang kebebasan berekspresi individu, menghancurkan seni, arabisasi dan akan menyebabkan disintegrasi bangsa jelas tak bisa kita terima. Tapi, tidak menjadi bagian penolak RUU Pornografi yang diusung oleh kalangan LSM, budayawan sableng dan artis-artis gendeng tidak secara otomatis mengharuskan kita mendukung RUU Pornografi tersebut.

RUU Pornografi yang ada sekarang, seperti yang telah saya muat di artikel sebelumnya, jelas penuh kompromi, tidak jelas, dan tidak memberikan secercah harapan akan hilangnya industri pornografi dan pornoaksi di negeri ini. Kita perlu sebuah aturan yang lebih kuat, yang lebih tegas, yang tak kenal kompromi untuk menghilangkan sama sekali atsar pornografi dan pornoaksi di bumi ini.

"Asma, sesungguhnya perempuan itu, jika telah baligh, tidak pantas untuk ditampakkan dari tubuhnya kecuali ini dan ini -sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya". Kutipan tadi merupakan sebuah hadits dari Nabi SAW yang begitu masyhur di tengah masyarakat.Hadits tersebut juga menjadi landasan yang sangat jelas terhadap batasan aurat wanita. Maka, jika kita percaya akan kebenaran Allah, seharusnya dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah lah yang kita jadikan rujukan dalam membuat peraturan perundang-undangan.

Dan berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, definisi yang benar dari pornografi adalah segala macam bentuk visual yang mempertunjukkan dan mempertontonkan aurat wanita. Dari pemahaman ini, sinetron televisi yang menampilkan artis-artis wanita yang berpakaian minim jelas merupakan materi pornografi dan harus dilarang peredarannya. Dan, hanya dengan aturan yang jelas seperti inilah, bangsa Indonesia bisa terbebas dari pornografi dan mampu meningkatkan martabatnya di tengah-tengah bangsa di dunia.

Baca selengkapnya...

RUU Pornografi Yang Penuh Kontroversi

Senin, 27 Oktober 2008


Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

Paragraf diatas merupakan bunyi Pasal 1 Ayat 1 dari RUU Pornografi yang sekarang masih menjadi kontroversi di tengah masyarakat dan parlemen. Kalau kita baca sekilas saja, memang jelas terlihat ayat yang berisi definisi pornografi ini sangat membingungkan dan multi tafsir. Standar yang digunakan untuk menilai suatu bentuk visual termasuk pornografi atau tidak didasarkan pada apakah itu membangkitkan hasrat seksual atau tidak.

Jelas aneh, coba saja misalnya tunjukkan foto wanita telanjang di hadapan pria impoten tentu hasrat seksual dari pria tersebut tak akan terbangkitkan. Tapi, dihadapan pria yang punya libido tinggi, seorang wanita yang memakai cadarpun bisa membangkitkan hasrat seksual pria tersebut sekaligus membuatnya berpikir macam-macam. Lalu, dengan realita ini, apakah bisa dikatakan foto wanita telanjang bukan bagian dari pornografi karena tak membangkitkan hasrat seksual, sedangkan wanita bercadar merupakan bentuk pornografi karena membuat seorang pria berimajinasi seksual?

Mungkin ada pihak yang akan menjawab bahwa yang menjadi ukuran adalah bangkitnya hasrat seksual bagi pria normal. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apa standar pria normal tersebut, apa seperti Ryan 'Sang Penjagal' atau seperti apa?

Standar lain yang juga tidak jelas dalam ayat diatas adalah mengukur pornografi dengan pelanggarannya terhadap nilai-nilai kesusilaan di tengah-tengah masyarakat. Jelas ini semakin aneh. Ukuran pornografi tidak akan sama antara masyarakat Aceh yang terbiasa menutup aurat dengan masyarakat Papua yang terbiasa memakai koteka yang hanya menutupi alat kelamin. Pertanyaannya, standar masyarakat mana dari Sabang sampai Merauke ini yang akan digunakan?

Selain Pasal 1 Ayat 1 diatas, terdapat ayat lain dari RUU Pornografi yang juga bermasalah. Salah satunya adalah pasal 14 yang berbunyi: Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: a. Seni dan budaya; b. Adat istiadat; dan c. Ritual tradisional. Pasal ini jelas memberikan kesempatan bagi praktik pornografi secara luas di tengah masyarakat dengan alasan seni, budaya atau adat-istiadat. Semua orang tentu merasa aneh, jika sebuah materi pornografi dianggap akan merusak dan meruntuhkan martabat masyarakat, mengapa kemudian dengan alasan seni dan budaya sebuah materi pornografi boleh disebarluaskan.

Dari dua pasal diatas saja, telah menunjukkan dengan jelas bagi kita bahwa RUU Pornografi yang tengah dirancang di DPR tersebut tak akan mampu mengatasi persoalan pornografi dan pornoaksi. Alih-alih menjadi solusi, yang terjadi malah akan menambah persoalan di tengah masyarakat karena begitu banyak kontroversi.

Saya rasa kita semua sepakat bahwa pornografi dan pornoaksi merupakan sampah dan racun bagi masyarakat sehingga harus dimusnahkan dari bumi Indonesia. Kita juga perlu memberi apresiasi positif terhadap langkah para anggota dewan yang berupaya mengatasi permasalahan pornografi dan pornografi di Indonesia. Tapi, kita juga wajib mengoreksi setiap rancangan undang-undang yang mereka susun agar tidak salah langkah dan salah jalan. Kita ingin agar peraturan yang dibuat nanti benar-benar mampu menghilangkan unsur pornografi dan pornoaksi dengan motif apapun.

Baca selengkapnya...

Salam Perkenalan

Kamis, 23 Oktober 2008

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Salam kenal pada semua blogger. Kenalkan nama saya adalah Muhammad Abduh. Tulisan ini merupakan posting pertama saya di blog ini. Blog ini akan saya isi dengan berbagai tulisan saya berkaitan dengan tema-tema ringan dan "setengah ringan" berkaitan tentang keislaman dan kemasyarakatan.

Saya harapkan semua blogger dapat berpartisipasi dengan memberikan tanggapan terutama masukan dan saran terhadap tulisan-tulisan saya nantinya. Insya Allah tanggapan-tanggapan anda akan bermanfaat bagi saya dan bagi semua pembaca blog ini. Saya juga akan mendoakan kebaikan bagi semua pembaca dan penanggap tulisan-tulisan saya di blog ini.

Demikian salam perkenalan dari saya. Saya tunggu tanggapannya. Terima kasih.


Saudaramu yang tercinta,
Muhammad Abduh

Baca selengkapnya...

Hizbut Tahrir Indonesia

INSISTS Official Site

Jurnal Ekonomi Ideologis

Buku Tamu


ShoutMix chat widget

  © Blogger template Nightingale by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP