RUU Pornografi Yang Penuh Kontroversi

Senin, 27 Oktober 2008


Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

Paragraf diatas merupakan bunyi Pasal 1 Ayat 1 dari RUU Pornografi yang sekarang masih menjadi kontroversi di tengah masyarakat dan parlemen. Kalau kita baca sekilas saja, memang jelas terlihat ayat yang berisi definisi pornografi ini sangat membingungkan dan multi tafsir. Standar yang digunakan untuk menilai suatu bentuk visual termasuk pornografi atau tidak didasarkan pada apakah itu membangkitkan hasrat seksual atau tidak.

Jelas aneh, coba saja misalnya tunjukkan foto wanita telanjang di hadapan pria impoten tentu hasrat seksual dari pria tersebut tak akan terbangkitkan. Tapi, dihadapan pria yang punya libido tinggi, seorang wanita yang memakai cadarpun bisa membangkitkan hasrat seksual pria tersebut sekaligus membuatnya berpikir macam-macam. Lalu, dengan realita ini, apakah bisa dikatakan foto wanita telanjang bukan bagian dari pornografi karena tak membangkitkan hasrat seksual, sedangkan wanita bercadar merupakan bentuk pornografi karena membuat seorang pria berimajinasi seksual?

Mungkin ada pihak yang akan menjawab bahwa yang menjadi ukuran adalah bangkitnya hasrat seksual bagi pria normal. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apa standar pria normal tersebut, apa seperti Ryan 'Sang Penjagal' atau seperti apa?

Standar lain yang juga tidak jelas dalam ayat diatas adalah mengukur pornografi dengan pelanggarannya terhadap nilai-nilai kesusilaan di tengah-tengah masyarakat. Jelas ini semakin aneh. Ukuran pornografi tidak akan sama antara masyarakat Aceh yang terbiasa menutup aurat dengan masyarakat Papua yang terbiasa memakai koteka yang hanya menutupi alat kelamin. Pertanyaannya, standar masyarakat mana dari Sabang sampai Merauke ini yang akan digunakan?

Selain Pasal 1 Ayat 1 diatas, terdapat ayat lain dari RUU Pornografi yang juga bermasalah. Salah satunya adalah pasal 14 yang berbunyi: Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: a. Seni dan budaya; b. Adat istiadat; dan c. Ritual tradisional. Pasal ini jelas memberikan kesempatan bagi praktik pornografi secara luas di tengah masyarakat dengan alasan seni, budaya atau adat-istiadat. Semua orang tentu merasa aneh, jika sebuah materi pornografi dianggap akan merusak dan meruntuhkan martabat masyarakat, mengapa kemudian dengan alasan seni dan budaya sebuah materi pornografi boleh disebarluaskan.

Dari dua pasal diatas saja, telah menunjukkan dengan jelas bagi kita bahwa RUU Pornografi yang tengah dirancang di DPR tersebut tak akan mampu mengatasi persoalan pornografi dan pornoaksi. Alih-alih menjadi solusi, yang terjadi malah akan menambah persoalan di tengah masyarakat karena begitu banyak kontroversi.

Saya rasa kita semua sepakat bahwa pornografi dan pornoaksi merupakan sampah dan racun bagi masyarakat sehingga harus dimusnahkan dari bumi Indonesia. Kita juga perlu memberi apresiasi positif terhadap langkah para anggota dewan yang berupaya mengatasi permasalahan pornografi dan pornografi di Indonesia. Tapi, kita juga wajib mengoreksi setiap rancangan undang-undang yang mereka susun agar tidak salah langkah dan salah jalan. Kita ingin agar peraturan yang dibuat nanti benar-benar mampu menghilangkan unsur pornografi dan pornoaksi dengan motif apapun.

1 komentar:

Lilis Indrawati 28 Oktober 2008 pukul 13.19  

Berantas pornografi dan pornoaksi..!!!!!
Ketokkan palu perlawanan...!!!
Pikul genderang perang.....!!!

Hizbut Tahrir Indonesia

INSISTS Official Site

Jurnal Ekonomi Ideologis

Buku Tamu


ShoutMix chat widget

  © Blogger template Nightingale by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP