Kapitalisasi Media Massa

Kamis, 27 November 2008


Media massa sebagai salah satu pilar masyarakat modern, semakin memiliki peran dalam penanaman nilai-nilai terhadap masyarakat. Fakta empiris menunjukkan, objektifitas media massa merupakan hal yang nisbi, malah fakta berbicara bahwa setiap media massa, baik cetak maupun elektronik, mempunyai visi dan misi tersendiri yang mempengaruhi pemberitaan di media massa tersebut. Visi dan misi setiap media massa, yang tentu dibuat oleh pemilik media massa tersebut, acapkali terpengaruh oleh satu ideologi tertentu. Media massa kemudian dijadikan corong untuk menanamkan ideologi tersebut di masyarakat melalui pemberitaan atau wacana yang dikembangkan dari sudut pandang ideologi tersebut.

Menurut William L. Rivers dan kawan-kawan (Rivers, 2003) hubungan antara kondisi dunia dan media massa sangat erat dan saling mempengaruhi. Teori ini secara kasat mata dapat kita buktikan dengan melihat berbagai jenis media massa yang sekarang sedang menjamur. 10 televisi swasta nasional Indonesia semuanya menganut ideologi kapitalis sekuler, sama dengan ideologi yang sekarang sedang menguasai dunia. Tampak sekali kalau stasiun TV di Indonesia sangat terpengaruh dengan pola pikir Kapitalisme. Ini terlihat dari tayangan-tayangan yang hanya mementingkan pemasukan tanpa memikirkan dampak buruknya bagi masyarakat. Sinetron tak berkualitas dan sarat mistik, infotainment yang menjual hedonisme dan perceraian artis, bahkan berita yang menyajikan informasi yang tak berimbang menghiasi televisi kita dari pagi sampai malam hari.

Media cetak, yang bagi sebagian kalangan dianggap masih menyisakan idealisme, ternyata setali tiga uang. Walaupun media cetak lebih bersifat informatif dan sedikit sekali berisi hal-hal yang tak mutu, tetapi tetap saja pengaruh ideologi kapitalis sekuler sangat terasa. Hal ini sangat jelas terlihat dari hasil pemberitaan yang mereka informasikan atau opini yang mereka wacanakan yang hanya berasal dari sudut pandang tertentu yaitu kapitalisme sekuler. Sebagai contoh, dalam kasus terorisme Amrozi cs, media cetak, baik lokal maupun nasional bahkan internasional, secara serempak menuding Amrozi cs sebagai dalang Bom Bali I. Tak berimbang dengan informasi yang menunjukkan keanehan persidangan yang terjadi pada mereka maupun informasi yang menunjukkan bahwa banyak pakar yang tak percaya kalau Amrozi cs pelaku Bom Bali I sebenarnya. Contoh lain adalah dalam kasus Insiden Monas. Hampir semua media menunjuk Munarman dan Habib Riziq beserta FPI sebagai dalang insiden tersebut. Sesuatu yang sebenarnya lebih merupakan opini yang dihembuskan, bukan fakta.

Berbagai fakta diatas jelas menunjukkan kalau media bukanlah institusi yang bebas nilai. Media, seperti pendapat Rivers cs, dipengaruhi oleh kondisi dunia, yang sekarang didominasi oleh ideologi kapitalisme sekuler. Bahkan, lebih dari itu, media bukan hanya terpengaruh oleh kapitalisme sekuler, mereka juga merupakan salah satu ujung tombak dari ideologi tersebut. Peran media massa sekarang bahkan bisa dirasakan sebagai bagian terpenting dari penetrasi ideologi tersebut di tengah-tengah masyarakat. Daya jangkau media yang hampir meliputi seluruh wilayah dunia dan akses terhadap media yang begitu cepat didapatkan oleh masyarakat dunia termasuk Indonesia, menunjukkan begitu pentingnya peran media massa dalam penetrasi ideologi.

Hegemoni kapitalisme pada media massa tentu merupakan hal yang menyesakkan bagi setiap orang yang meyakini ideologi yang berbeda. Pemilik media massa yang mengusung kapitalisme dan sekularisme tentu tak akan memberikan kesempatan ideologi lain berwacana dengan bebas di media milik mereka. Paling banter, ideologi berbeda diberikan kesempatan berwacana tetapi kemudian langsung dibunuh melalui wacana lain yang bertentangan.

Ini sangat terlihat pada televisi yang fokus kepada berita. Wacana Syariah Islam diberikan kesempatan tampil di media mereka, tapi kemudian langsung diserang balik dengan kekuatan wacana yang lebih kuat dan waktu siar yang lebih banyak. Ini juga terjadi di media cetak dengan tidak berimbangnya berita yang ditayangkan. Insiden Monas, sebagai sebuah contoh, tak pernah diinformasikan secara komprehensif, misalnya tentang provokasi kalangan AKKBB terhadap massa Laskar Islam atau anggota AKKBB yang membawa senjata api tak pernah ditunjukkan secara jelas. Ini sangat wajar karena media tersebut dengan AKKBB merupakan pihak yang sama-sama menginginkan tertancap kuatnya ideologi kapitalis sekuler di tengah-tengah masyarakat.

Maka, bagi kalangan yang menginginkan berakhirnya hegemoni kapitalisme di dunia dan di Indonesia serta meyakini Islam sebagai sebuah ideologi yang akan memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi umat manusia, tentu keberadaan banyak media yang pro ideologi Islam adalah sebuah keharusan. Jumlah media Islam dan media kapitalis yang berimbang tentu akan semakin meramaikan pertarungan ideologi dan masyarakat akan semakin mampu melihat ideologi mana yang pantas mereka jadikan pandangan hidup.

Baca selengkapnya...

An Introduction to Khilafah Islamiyah


Islam sebagai sebuah ideologi, tidak hanya mengatur persoalan ritual belaka. Tidak seperti agama lainnya, Islam secara komprehensif mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri dan dengan sesama manusia. Ideologi Islam, seperti ideologi-ideologi yang lain akan berusaha melahirkan sebuah peradaban yang berasal dari ideologi tersebut. Ideologi Islam juga tentu akan berusaha mewujudkan sebuah negara yang akan menerapkan ideologi tersebut.

Fakta empiris menunjukkan bahwa ideologi Islam bukan hanya terkungkung pada konsep, tetapi telah terbukti mampu menjadi sebuah ideologi yang memimpin dunia tatkala ia diterapkan dan disebarkan oleh kekuatan besar, yaitu Daulah Islamiyah. Daulah Islamiyah atau Negara Islam pertama kali didirikan oleh Rasulullah SAW pasca hijrah beliau ke Madinah, pada tanggal 12 Rabiul Awal atau bertepatan dengan tanggal 23 September 622 M. Negara ini terus berlanjut setelah wafatnya Rasulullah SAW dengan format Khilafah Islamiyah. Kepemimpinan Khilafah Islamiyah terus berlanjut dengan kegemilangannya, sampai diruntuhkan oleh kaki tangan Inggris, Mustafa Kemal Pasha, di Turki pada tanggal 3 Maret 1924 M.

Walaupun sekarang Khilafah Islamiyah sudah tidak ada, perjuangan penegakan kembali Khilafah Islamiyah tetap kencang diupayakan oleh umat Islam di seluruh dunia. Hal ini wajar, paling tidak karena dua alasan. Pertama, keberadaan Khilafah Islamiyah merupakan sebuah kewajiban bagi umat Islam, dan meruntuhkannya merupakan sebuah dosa yang teramat besar. Keberadaan Khilafah, merupakan keniscayaan agar Syariah Islam bisa diterapkan di muka bumi. Allah SWT berfirman: “Maka putuskanlah perkara di antara manusia dengan apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (QS Al Maa`idah: 48).

Dalil dari Al-Qur’an ini semakin diperkuat dengan dalil dari As-Sunnah yang menekankan pentingnya bai’at kepada seorang Khalifah, dan dalil dari Ijma’ Shahabat yang menegaskan kewajiban mewujudkan Khilafah Islamiyah dan mengangkat seorang Khalifah bagi seluruh umat Islam. Ijma’ Shahabat ini terbukti dari penangguhan mereka dalam prosesi pemakaman Rasulullah SAW untuk memilih Khalifah, sebagai kepala Negara Islam, pengganti Rasulullah SAW.

Kedua, Tiadanya Khilafah Islamiyah menyebabkan umat Islam mengalami kondisi yang sangat mengenaskan yang belum pernah dialami sebelumnya. Berbagai fakta bisa kita runut, dimulai dari keterpecahan umat Islam kedalam puluhan negara bangsa (nation state) yang berdiri sendiri, masing-masing tak peduli terhadap kondisi umat Islam di negara lain. Kemudian diusirnya rakyat Palestina dari tanah airnya oleh Zionis Israel pada 1948. Penjajahan kaum kuffar di berbagai negeri Islam, seperti di Palestina, Bosnia, Iraq, Afghanistan, dan negeri-negeri Islam lainnya. Umat Islam tanpa Khilafah terus mengalami kemunduran di hampir seluruh aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Umat Islam juga terus disudutkan dengan berbagai tuduhan yang tak berdasar, seperti sebagai pelaku terorisme. Umat Islam yang ingin menjalankan ajaran agamanya secara sempurna dituduh berideologi setan dan menjadi cikal bakal pelaku teror, sedangkan AS dan negara-negara Eropa yang menjadi penyebab Perang Dunia 1 dan 2, otak dibalik berbagai konflik dan peperangan di Amerika Selatan, Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah serta pembunuh jutaan manusia di Palestina, Bosnia, Iraq dan Afghanistan dianggap sebagai pahlawan pembela HAM dan Demokrasi.

Bahkan lebih dari itu, keberadaan Khilafah Islamiyah sebagai pusat dan pemimpin peradaban dunia tidak hanya demi kebaikan umat Islam tetapi kebaikan bagi seluruh manusia. Hal ini sesuai dengan konsep Islam yang rahmatan lil ‘Alamin. Keterpurukan dunia saat ini bukan hanya dirasakan oleh umat Islam tapi juga hampir seluruh umat manusia, kecuali segelintir kapitalis. Krisis global yang terjadi sekarang bahkan berimbas ke negara-negara Eropa dan Amerika yang bukan negeri Islam dan konon tahan terhadap krisis. Jika Khilafah tegak, maka krisis semacam ini tak akan terjadi lagi karena Islam punya sistem keuangan yang berbasis emas dan perak yang jauh lebih stabil daripada uang kertas.

Khilafah juga akan menjamin kesejahteraan dan keadilan untuk seluruh warga negaranya, baik muslim maupun non muslim. Bahkan dalam sejarah dunia, hanya Khilafah yang benar-benar membuktikan toleransi umat beragama ketika umat Islam, Kristen dan Yahudi hidup rukun di bawah naungan Khilafah Islamiyah.

Baca selengkapnya...

Jujur Melihat Sejarah Umat Islam

Rabu, 12 November 2008


Sejarah sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, selalu menarik untuk dikaji. Sejarah, menurut para pakar, merupakan peristiwa masa lalu yang tidak hanya bercerita tentang peristiwa masa lalu tetapi juga memberi interpretasi atas peristiwa yang terjadi. Tentu bagi kita, bagian sejarah yang paling menarik adalah sejarah umat Islam. Sejarah umat Islam, yang tidak hanya berisi tahun-tahun penting tetapi juga berisi gambaran peradaban dan pemikiran Islam yang berkembang setiap masa, memang sering coba ditutup-tutupi. Tetapi tetap saja, sejarah umat Islam selalu menjadi bahan kajian yang hangat untuk didiskusikan.

Dalam menyikapi sejarah umat Islam, umat Islam sekarang terbagi menjadi 3 kelompok besar. Kelompok pertama adalah yang melihat sejarah umat Islam sebagai sejarah kegemilangan dan kejayaan semata. Orang-orang ini berpandangan bahwa sepanjang belasan abad sejarah umat Islam, sejak Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul sampai sekarang, tidak ada noda yang berarti dalam sejarah umat Islam. Mereka berpandangan bahwa sejarah umat Islam dicatat dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban, penemuan-penemuan, futuhat yang menunjukkan kehebatan umat Islam serta keadilan dan kesejahteraan. Mereka tak menemukan alasan untuk menyatakan bahwa sejarah umat Islam pernah mengalami cacat.

Kelompok yang kedua bertolak belakang 180 derajat dengan kelompok pertama. Mereka beranggapan bahwa sejarah umat Islam tak benar-benar indah. Sejarah umat Islam tak melulu berisi keindahan penerapan syariah atau kemajuan ilmu pengetahuan, mereka bahkan lebih melihat sejarah umat Islam berisi darah, pembunuhan dan konspirasi. Argumen yang sering mereka kemukakan adalah bahwa banyaknya dinasti dalam perjalanan panjang umat Islam selalu berisikan permusuhan dan pertentangan politik.

Kelompok kedua ini utamanya adalah kalangan cendekiawan liberal. Sudah lazim kita kenal, mereka selalu berupaya untuk menghalang-halangi upaya penerapan Syariah Islam. Dan bagi mereka, sejarah umat Islam merupakan salah satu cara untuk menggolkan upaya mereka tersebut. Dengan mengopinikan keburukan sejarah umat Islam pada masa Khilafah Islam, mereka ingin mengatakan kepada umat Islam bahwa Khilafah tak selalu berisi keadilan dan Syariah Islam tak selalu menghasilkan kesejahteraan.

Bahkan, demi upaya ini, seorang Azyumardi Azra yang kita kenal sebagai Pakar Sejarah Islam, memberi apresiasi tinggi terhadap Faraq Fouda. Faraq Fouda yang menulis buku fitnah terhadap Utsman bin Affan, berjudul: “Al-Haqiqah Al-Ghaybah” (edisi Indonesianya berjudul: “Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin”), dipuji setinggi langit oleh Azyumardi Azra. Padahal, banyak sekali kelemahan fundamental dalam penulisan buku tersebut. Kelemahan yang paling mendasar menurut Asep Sobari, Lc, peneliti bidang sejarah INSISTS, adalah Faraq Fouda menggunakan sumber riwayat yang lemah bahkan tak jelas dalam membangun argumentasinya (Asep Sobari, Memuja Fouda, Memfitnah Sahabat, Insists Official Site).

Kita tentu bingung terhadap sikap Azyumardi Azra ini. Seorang pakar sejarah Islam, hanya demi menunjukkan secara kasar sisi kelam sejarah umat Islam, harus memberi apresiasi kepada buku yang bahkan tak memenuhi kaidah dan standar ilmiah. Tapi, inilah manhaj kaum liberal. Mereka tak segan-segan menggunakan segala cara untuk menunjukkan keburukan dan kebobrokan sejarah umat Islam.

Kelompok ketiga yang menyikapi sejarah umat Islam adalah kelompok yang berusaha sangat objektif menilai sejarah umat Islam. Mereka, tak seperti kelompok pertama, mengakui dalam perjalanan panjang sejarah umat Islam terdapat kisah kelam dan mengerikan yang tak patut dicontoh. Kekejaman Al-Makmun terhadap para Ulama yang tak mau mengakui Al-Qur’an sebagai makhluk dan berbagai peperangan karena kepentingan politik tetap mereka akui sebagai bagian dan mewarnai sejarah umat Islam.

Tetapi, tak seperti kelompok kedua, mereka masih mengakui bahwa sejarah umat Islam memiliki banyak sisi terang yang mampu menutupi sisi kelam tersebut. Sejarah umat Islam mampu melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, Imam Syafi’i, Al-Khawarizmi atau Muhammad Al-Fatih. Dan yang paling penting, mereka secara objektif mengatakan bahwa sejarah umat Islam merupakan fase sejarah paling gemilang yang pernah dialami umat manusia.

Bagi kita, tentunya sikap yang dikembangkan kelompok ketiga inilah yang paling tepat. Sejarah setiap bangsa dan umat manusia, tentulah berisi dua sisi, sisi kelam dan sisi terang, termasuk sejarah umat Islam. Yang paling penting bagi kita adalah bagaimana kita mampu belajar dari sejarah. Peristiwa kelam yang terjadi pada umat Islam masa lampau tentu tak ingin kita ulangi lagi. Sebaliknya, catatan gemilang yang begitu banyak dimiliki oleh sejarah umat Islam tentu akan kita usahakan untuk terus kita ulangi.

Baca selengkapnya...

Islam, Antara Agama dan Ideologi

Senin, 10 November 2008


Islam, sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia sekarang sedang menjadi bahan perdebatan yang menarik. Setelah beberapa tokoh dan gerakan Islam, menyebutkan bahwa Islam bukan cuma sekedar agama tapi juga merupakan sebuah ideologi. Seandainya perdebatan tersebut cuma seputar istilah dan bahasa tentu tidak akan terlalu bermasalah dan juga tidak terlalu penting untuk didiskusikan. Tetapi perbedaan cara pandang terhadap Islam tersebut pasti akan melahirkan konsekuensi baik bagi yang menyatakan Islam adalah sebuah ideologi atau Islam hanyalah sebuah agama.

Istilah ideologi, kalau ditilik dari sumbernya memang merupakan istilah baru dalam khazanah keislaman. Ideologi, atau dalam bahasa Arabnya disebut idiyuluji atau mabda’ seperti halnya beberapa istilah lain seperti aqidah, dharibah (pajak), dustur (UUD) dan qanun (UU) merupakan istilah serapan yang akhirnya diadopsi oleh kaum muslimin karena mengandung makna yang tepat terhadap berbagai khazanah Islam yang ada.

Ideologi atau mabda’ merupakan pemikiran paling mendasar, yang tidak dibangun dari pemikiran yang lain. Pemikiran seperti ini hanya ada pada pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia dan kehidupan, serta apa yang ada sebelum dan sesudahnya, juga hubungan antara ketiga unsur tersebut dengan apa yang ada sebelum dan sesudahnya (Muhammad Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islamy, hal: 9-10). Ideologi juga didefinisikan sebagai aqidah aqliyah (aqidah yang lahir dari sebuah proses berpikir/aqidah yang rasional) yang melahirkan nizham (peraturan) (Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham Al-Islam, hal: 24).

Aqidah Islam kita yakini sebagai sebuah pemikiran mendasar yang lahir dari sebuah proses berpikir. Aqidah Islam mengajarkan bahwa yang ada sebelum kehidupan ini adalah Allah SWT, Sang Pencipta. Sesudah kehidupan dunia ini akan ada hari kiamat, surga dan neraka. Dan bahwa setiap aktivitas kita di dunia ini akan dihisab oleh Allah SWT di padang mahsyar kelak. Keyakinan terhadap aqidah Islam akan melahirkan keterikatan terhadap berbagai aturan syariat Islam. Karena syariat yang lahir dari aqidah Islam itulah yang akan menjadi standar oleh Allah untuk meminta pertanggungjawaban seluruh manusia pada saat mereka menjalani kehidupan dunia di akhirat kelak. Dari penjelasan ini, sangat jelas bahwa Islam sesuai dengan definisi ideologi dan wajarlah Islam disebut sebagai sebuah ideologi.

Munculnya istilah ideologi, khususnya istilah Ideologi Islam atau Islam ideologi merupakan hal yang wajar sebagai respon terhadap pendistorsian makna agama atau dien. Makna dien dalam khazanah bahasa Arab diartikan sebagai nizham al-hayah (sistem kehidupan) sesuai dengan firman Allah SWT:

Hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agama kamu, dan telah Aku cukupkan untuk kamu nikmat-Ku, serta Aku ridhai Islam sebagai agama (dien) kamu.” (Al-Maidah: 3).

Dan Kami turunkan kepada kamu Kitab ini untuk menerangkan semua perkara.” (An-Nahl: 89).

Sekarang, agama dimaknai dengan makna yang sempit hanya sebagai ajaran ritual yang tak punya aturan tentang kehidupan dunia. Agama tak boleh diberi ruang untuk mengatur kehidupan dunia. Pandangan seperti ini bukanlah pandangan yang bebas nilai. Pandangan ini lahir dari aqidah sekularisme yang bertujuan memisahkan agama dengan kehidupan. Dan berdasarkan fakta historis, sekularisme lahir sebagai reaksi atas kekuasaan kaum gerejawan di Eropa yang membuat bangsa Eropa Kristen terpuruk dan lemah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Fakta kelemahan Kristen dalam mengatur kehidupan dunia kemudian dipaksakan ke semua agama termasuk Islam. Ini terlihat dari pernyataan Abdul Moqsith Ghazali bahwa Islam bukanlah sebuah sistem. Islam lebih merupakan kerangka etik moral yang bukan merupakan sistem, karena sistem itu harus dibentuk oleh manusia bukan Islam (dikutip dari situs Jaringan Islam Liberal: Islamlib.com).

Ketika satu agama tak mampu mengatur masalah kehidupan bermasyarakat dan bernegara, lalu hal ini digeneralisir ke semua agama, termasuk Islam. Pernyataan ini tentulah sesuatu yang ahistoris. Ketika bangsa Eropa Kristen dalam masa kegelapan (dark age), umat Islam malah telah sangat maju di bidang sains dan teknologi dengan hanya menjadikan Islam sebagai aturan bagi kehidupan mereka. Ini yang sering luput dari pengamatan kita.

Ketika istilah agama didistorsi sedemikian rupa, wajar kalau umat Islam mengambil istilah ideologi, yang lebih sesuai dengan makna Islam yang sebenarnya. Islam yang didefinisikan sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan dirinya dan dengan sesamanya (Hafidz Abdurrahman, Islam Politk dan Spiritual, hal: 1) sangat tepat dimasukkan sebagai sebuah ideologi karena berasal dari sebuah pemikiran mendasar yang rasional yaitu aqidah Islam dan memiliki peraturan dalam semua aspek kehidupan.

Islam ketika dimaknai sebagai sebuah ideologi tentu akan berbeda dengan Islam yang hanya dimaknai sebagai agama ritual belaka. Ideologi Islam, seperti ideologi-ideologi yang lain akan berusaha melahirkan sebuah peradaban yang berasal dari ideologi tersebut. Sebuah ideologi juga tentu akan berusaha untuk mewujudkan sebuah negara yang akan menerapkan ideologi tersebut (Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham Al-Islam, hal: 12-13).

Sekarang, seperti kata Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam At-Takattul Al-Hizby ketika seseorang telah menginternalisasikan sebuah ideologi dalam dirinya, ia tidak akan mampu untuk menyimpannya. Bahkan Ideologi itu akan mendorong para penganutnya untuk mendakwahkannya. Kegiatan mereka akan senantiasa mengikuti ideologi itu, yakni berjalan sesuai dengan manhajnya, dan terikat dengan batasannya. Keberadaan mereka pun akhirnya didedikasikan hanya demi ideologi, demi dakwah kepada ideologi itu, dan untuk melakukan tugas-tugas yang ditetapkannya. Dakwah ini bertujuan agar manusia meyakini ideologi itu saja –bukan ideologi yang lain– dan bertujuan mewujudkan kesadaran umum terhadap ideologi tersebut.

Baca selengkapnya...

Soekarno-Hatta, Pendiri Sekularisme Indonesia

Sabtu, 08 November 2008


Berbagai permasalahan yang terjadi pada umat Islam Indonesia dewasa ini, seperti berkembangnya paham sesat Ahmadiyah di tubuh umat Islam, maraknya orang yang mengaku sebagai nabi baru dan pendiri agama baru sempalan Islam, berkembangnya paham sesat pluralisme dan liberalisme yang kebanyakan diusung anak-anak muda berlatar belakang pendidikan agama, susahnya menggolkan RUU APP yang notabene untuk menjaga moral bangsa Indonesia, disintegrasi bangsa serta berbagai keterpurukan umat Islam di segala bidang dapat kita katakan penyebab utamanya adalah paham sekularisme yang menjadi asas berdirinya negara ini.

Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai: “A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship" (Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan) atau sebagai: "The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the function of the state especially into public education" (Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi negara, khususnya dalam pendidikan publik) (Lihat M. Shiddiq Al-Jawi, tt, Mengapa Kita Menolak Sekularisme?). Dari definisi ini jelas, paham sekularisme adalah paham yang mengusung gagasan fashluddin ‘anil hayah (pemisahan agama dengan kehidupan) yang berarti Islam tak boleh campur tangan sama sekali terhadap aturan-aturan bermasyarakat dan bernegara. Konsekuensinya, Indonesia yang menganut falsafah ini meniscayakan negara tersebut untuk meninggalkan sama sekali ajaran Islam sebagai bagian integral pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Konsep negara Indonesia yang sekuler sebenarnya bukanlah digali dari falsafah hidup bangsa Indonesia. Gagasan ini bahkan tak pernah dikenal dalam perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia. Sejak Indonesia meninggalkan fase prasejarah dengan ditemukannya prasasti di Kalimantan pada abad ke-4 M, kerajaan-kerajaan di Indonesia kemudian secara bergantian menggunakan ajaran Hindu dan Budha sebagai falsafah kehidupan kerajaan nusantara. Bahkan sejak masuknya Islam di Indonesia pada abad ke-7 M, institusi kerajaan nusantara secara bertahap berganti baju menjadi kesultanan Islam yang menjadikan Syariah Islam sebagai asas bernegara dan baru berakhir pada awal abad ke-20 M (Lihat Booklet HTI, 2007, Jejak Syariah dan Khilafah di Indonesia). Konsep Indonesia sekuler baru melembaga dengan berdirinya Budi Utomo pada 1908 dan semakin diperkuat dengan Sumpah Pemuda oleh berbagai kelompok pemuda pada 1928 yang sama sekali tak memasukkan Islam dalam isi sumpahnya.

Gagasan Indonesia sekuler yang diselubungi dengan gagasan nasionalisme merupakan gagasan yang diusung oleh anak-anak bangsa yang mengecap pendidikan sekuler barat dan kemudian silau dengan gaya kehidupan barat yang sekuler. Maraknya pengusung ideologi sekularisme ini di Indonesia sejak awal abad ke-20 M, bukanlah tanpa perlawanan dari anak bangsa yang masih menginginkan Islam –yang sudah sejak turun-temurun menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia– tetap menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia dan menjadi asas negara Indonesia yang kelak akan didirikan. Lahirnya Jong Islamiten Bond (JIB) yang berasal dari pecahan Jong Java pada 1924 bisa dikatakan sebagai awal dari pertentangan antara kelompok pro Islam dengan kelompok pro sekuler (Lihat Mohammad Roem, 1977, Bunga Rampai Sejarah (II) hal. 90 dalam Dhorurudin Mashad, Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3, 2008, Soekarno vs Natsir: Dialog Kritis Agama dan Negara hal 68).

Dan sebagaimana lazimnya sebuah ideologi, ia hanya akan menjadi tumpukan buku dan literatur di rak-rak perpustakaan dan tak akan menghasilkan apa-apa jika tak ada yang mengusungnya serta menjadikannya sebuah dasar bagi sebuah kelompok atau negara. Dan ideologi sekularisme yang berkembang pada masa pergerakan kebangsaan Indonesia menemukan bentuk utuhnya setelah diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada tahun 1945. Tanpa menafikan kontribusi tokoh-tokoh lain dalam mengusung gagasan Indonesia yang sekuler, tak bisa dipungkiri tokoh dwitunggal Soekarno dan Hatta lah yang paling bertanggung jawab terhadap menancapnya ideologi ini dalam negara Indonesia.

Soekarno, sang proklamator, dikenal sebagai pengagum berat bapak sekularisme Turki, Mustafa Kemal Pasha. Kekagumannya terhadap sang tokoh terlihat dari gagasan-gagasannya tentang konsep bernegara yang banyak mengambil dari Kemal Pasha. Soekarno pernah mengutip pernyataan Kemal Pasha tentang pemisahan agama dan negara, “Jangan marah, kita bukan melempar agama kita, kita cuma menyerahkan agama kembali ke tangan rakyat kembali, lepas dari urusan negara supaya agama dapat menjadi subur”. Dengan mengutip pernyataan ini, Soekarno ingin membenarkan pendapatnya yang meninggalkan agama dalam kehidupan bernegara Indonesia. Ia ingin menyesatkan pemahaman umat Islam Indonesia, bahwa dalam negara Indonesia yang sekuler Islam akan tumbuh lebih baik, sesuatu yang sebenarnya tak pernah dibuktikan oleh Kemal Pasha sendiri di Turki.

Soekarno benar-benar serius mewacanakan gagasan Indonesia yang sekuler lewat diskusi-diskusi dan tulisan-tulisannya bertahun-tahun sebelum RI diproklamasikan. Tercatat beberapa tulisan Soekarno yang ingin menyingkirkan Islam dalam ranah kehidupan bernegara seperti: Memudakan Pengertian Islam, Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara, Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, Islam Sontoloyo, dan lain sebagainya (Dhorurudin Mashad, Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3, 2008, Soekarno vs Natsir: Dialog Kritis Agama dan Negara hal 70). Walaupun argumentasi-argumentasi Soekarno mampu dipatahkan oleh M. Natsir, tapi sepertinya Soekarno tak bergeming dan tetap mewacanakan gagasan tersebut. Dan gagasan sekularisme Indonesia ini benar-benar terwujud setelah Indonesia diproklamasikan dan Soekarno dipilih menjadi presiden pertama RI. Sebelumnya bahkan upaya ini telah menjadi bahan perdebatan yang hangat di sidang BPUPKI dan PPKI (Suratno, 2006, Islam dan Pancasila, Menegaskan Kembali Peran Islam di Negara Pancasila).

Setali tiga uang, pasangan dwitunggal Soekarno yaitu Mohammad Hatta ternyata juga pengagum berat gagasan sekularisme. Hatta merupakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap hilangnya 7 kata dalam Piagam Jakarta. Sehari setelah proklamasi, kata-kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang tercantum dalam Piagam Jakarta diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan alasan ada keberatan dari masyarakat Indonesia Timur yang non Muslim terhadap kata-kata tersebut. Info itu disampaikan oleh Hatta dalam sidang PPKI dengan menyatakan bahwa dia mendapatkannya dari seorang Kaigun Jepang (Lihat Mohammad Hatta, 1982, Sekitar Proklamasi hal. 60 dalam Dhorurudin Mashad, Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3, 2008, Soekarno vs Natsir: Dialog Kritis Agama dan Negara hal 69).

Setelah kita mengetahui hal ini, telah jelas bagi kita siapa yang menggagas negara Indonesia yang sekuler. Dan juga sangat jelas bagi kita, sekularisme bukan berakar dari budaya dan falsafah hidup bangsa Indonesia melainkan hanya imajinasi dari segelintir tokoh pergerakan Indonesia yang terlalu silau dengan sekularisme Barat, yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta.

Baca selengkapnya...

Penyebab Utama Umat Islam Tak Bisa Bersatu

Kamis, 06 November 2008


Persatuan umat Islam sepertinya sekarang masih berupa mimpi. Walaupun begitu banyak ulama dan anasir umat Islam yang menginginkan terwujudnya persatuan umat Islam, tapi ternyata tak jarang juga apa yang mereka lakukan melanggengkan perpecahan umat ini. Sepertinya kita masih harus sering mentadabburi firman Allah dalam Surah Ali Imran ayat 103. Kita mungkin sudah sering membaca ayat tersebut, tapi kita seakan-akan tak pernah mengerti semangat dari ayat ini.

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Agama) Allah SWT dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103).

Secara garis besar, paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan umat ini susah bersatu. Yang pertama adalah fanatisme mazhab dan kelompok secara berlebihan. Sikap ini kemudian menjadikan kita memiliki sikap yang tidak proporsional, sikap ingin menang sendiri, merasa pendapat mazhab atau kelompoknya paling dan pasti benar sedangkan pendapat mazhab atau kelompok lain pasti salah. Yang terjadi kemudian adalah saling menghujat, melecehkan, menyesatkan bahkan mengkafirkan semua pendapat yang berbeda dengan pendapat mazhab atau kelompoknya.

Ada tulisan menarik dalam sebuah kata pengantar buku fiqh yang menganut mazhab tertentu karangan ulama Indonesia. Dalam kata pengantar tersebut disebutkan bahwa salah satu penyebab perpecahan umat Islam di nusantara adalah karena masuknya paham atau mazhab fiqh baru di Indonesia yang berbeda dengan mainstream mazhab fiqh nusantara. Beliau menyatakan bahwa hal ini berbahaya bagi persatuan dan kesatuan umat sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk mempertahankan eksistensi mazhab yang sudah ada dan mencegah menyebarluasnya mazhab baru atau kelompok yang tidak terikat dengan mazhab tertentu. Hasil dari pemahaman ini adalah, perdebatan panjang berpuluh-puluh tahun, hanya dalam permasalahan khilafiyah, sedangkan masalah-masalah umat lain yang lebih asasi malah terlupakan.

Sikap fanatisme berlebihan ini jelas tidak meneladani sikap Salafus Shalih. Perbedaan pendapat sudah terjadi pada masa Shahabat, kemudian tradisi perbedaan ini terus terjadi pada generasi-generasi Salafus Shalih berikutnya. Tapi, tak ada satupun dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan kalangan ulama klasik yang menjadikan perbedaan pendapat untuk menghujat dan mengkafirkan pendapat lain. Perbedaan pendapat diantara mereka hanya terbatas pada kajian-kajian dan tak sampai menyebabkan perpecahan umat. Mereka punya prinsip, selama masih dalam perkara furu’ dan khilafiyah tak seharusnya perbedaan pendapat mengakibatkan permusuhan. Indah sekali prinsip mereka yang menyatakan bahwa pendapatku adalah benar tapi masih terbuka kemungkinan salah sedangkan pendapat yang lain adalah salah tapi punya kemungkinan benar. Mereka baru bersikap intoleran jika perbedaan yang terjadi adalah dalam masalah ushul seperti terhadap kelompok yang punya Nabi baru atau kelompok yang ingkar terhadap ayat-ayat Qath’i.

Penyebab kedua susahnya mewujudkan persatuan umat adalah tumbuh kembangnya wabah nasionalisme. Nasionalisme merupakan suatu ikatan untuk mempersatukan sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai sebuah “bangsa” (M. Shiddiq Al-Jawi. 2005. Membuang Nasionalisme Ke Tempat Sampah). Kata “bangsa” sengaja diberi tanda kutip, karena memiliki makna yang tak baku bahkan bersifat imajiner. Contohnya adalah, dulu warga Timor Leste dianggap sebagai bagian dari bangsa Indonesia, tetapi setelah merdeka mereka tak lagi menjadi bangsa Indonesia melainkan bangsa Timor. Andaikan Papua memisahkan diri dari NKRI, maka di Papua tak akan ada lagi bangsa Indonesia, yang ada hanya bangsa Papua.

Konsep nasionalisme juga bukanlah sesuatu yang telah ada sejak dulu kala. Istilah dan konsep nasionalisme muncul beriringan dengan terjadinya Revolusi Prancis, industrialisasi, liberalisasi dan sentimen bangsa yang berupaya menggantikan sistem feodalisme (Kurniawan. 1996. Diskursus Nasionalisme: Artefak Masa Lalu di Panggung Masa Kini). Paham nasionalisme juga tak pernah dikenal oleh umat Islam selama 10 abad. Paham ini baru masuk ke dunia Islam ketika Barat melancarkan penjajahan ke negeri-negeri Islam sejak abad ke-17 M. Bersamaan dengan penjajahan fisik, Barat dipimpin oleh Inggris dan Prancis juga menyebarkan paham nasionalisme kepada umat Islam, tujuannya jelas adalah untuk melemahkan persatuan umat Islam dan Daulah Islam yang ujung-ujungnya memecah belah umat dan melanggengkan penjajahan mereka di tanah umat Islam. Bukti keberhasilan Barat memecah belah umat Islam adalah dengan berdirinya lebih dari 50 negara bangsa (nation-state) dalam dunia Islam, sesuatu yang tak pernah terjadi dalam tubuh umat Islam selama lebih dari 13 abad. Dan yang paling menyedihkan adalah, tak pernah ada upaya serius dari para pemimpin negara-negara bangsa tersebut untuk menyatukan kembali umat Islam di bawah satu bendera.

Penyebab ketiga penghambat persatuan umat Islam adalah sikap pesimisme, pasrah dengan keadaan dan keputusasaan terhadap kondisi perpecahan umat seperti sekarang. Sikap ini kemudian menjadikan banyak umat Islam yang tak lagi bersemangat untuk mewujudkan persatuan umat, mereka menganggap upaya tersebut hanyalah upaya yang sia-sia, tak akan berhasil bahkan utopis. Hal ini juga menjadikan sebagian pejuang Islam mengambil sikap pragmatis, kompromi dengan cara-cara diluar Islam yang dianggap akan lebih cepat membuahkan hasil. Realita dan kondisi empiris dijadikan tameng dan pembenaran untuk mengambil langkah pragmatis dan kompromistis tersebut, padahal hal tersebut menyimpang dari garis yang ditetapkan dien Islam. Dan sikap ini sebenarnya akan semakin menjauhkan umat Islam dari persatuannya yang hakiki.

Baca selengkapnya...

Konsep Keliru Desakralisasi Al-Qur'an

Selasa, 04 November 2008


Berbagai upaya dilakukan oleh kelompok yang tidak senang dengan Syariah Islam untuk menghalang-halangi upaya penerapan Syariah Islam. Salah satu upaya yang mereka lakukan adalah merusak sakralitas Al-Qur’an. Al-Qur’an yang menurut ijma’ umat Islam merupakan hal yang sakral karena merupakan kalamullah, tuntunan hidup bagi manusia dan tak akan pernah berubah sepanjang masa kemudian mau dirusak oleh mereka dengan konsep bahwa Al-Qur’an merupakan produk budaya, yang berarti buatan manusia atau minimal ada campur tangan manusia dalam pembentukannya.

Upaya yang jika berhasil disepakati umum akan secara otomatis menutup peluang untuk memunculkan Syariah Islam di tengah-tengah kehidupan. Kekuatan Syariah Islam yang terletak pada kekhasannya dibanding sistem lain yaitu berasal dari Allah yang lebih tahu tentang apa yang terbaik bagi manusia akan serta merta hilang. Islam yang bersumberkan Al-Qur’an adalah produk budaya, hasil karya pikiran manusia, sehingga sama saja dengan sistem sekuler yang ada sekarang. Kalau seperti itu, untuk apa kita memperjuangkan Syariah Islam?

Wacana desakralisasi Al-Qur’an semakin menguat ketika Nasr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual Mesir, menyatakan pendapatnya bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi) sekaligus produsen budaya (muntij li ats-tsaqafah) [Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, 1994, edisi II dalam Adnin Armas, Kritik Terhadap Teori Al-Qur’an Abu Zayd). Pendapat ini jugalah yang kemudian diusung oleh kalangan anak muda liberal di Indonesia pengagum Nasr Hamid Abu Zayd.

Konsep yang ditawarkan Nasr Hamid Abu Zayd ini terlihat dengan sangat jelas memiliki banyak kelemahan. Kelemahan yang paling mendasar adalah pendapatnya yang menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah produk budaya dan sekaligus sebagai produsen budaya. Hal ini jelas sangat kontradiktif dan membingungkan. Al-Qur’an sebagai produsen budaya, berarti Al-Qur’an telah berhasil merubah budaya Arab Jahiliyah pada saat datangnya Islam menjadi sebuah kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam. Ini yang selama ini kita kenal dan kita pahami. Tetapi menjadi sebuah keanehan ketika Nasr Hamid juga menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah produk budaya. Al-Qur’an sebagai produk budaya, berarti Al-Qur’an merupakan hasil cipta kebudayaan pada masa itu yaitu budaya Arab Jahiliyah. Artinya sepanjang 23 tahun turunnya Al-Qur’an, Al-Qur’an terbentuk dari realitas dan budaya bangsa Arab pada rentang waktu tersebut.

Konsep yang ditawarkan Nasr Hamid ini, kalau coba kita analisa, merupakan sebuah konsep kompromi. Nasr Hamid sebagai salah seorang pionir paham liberalisme di dunia Islam mencoba untuk melakukan desakralisasi dan delegitimasi Al-Qur’an dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah produk budaya, sehingga Al-Qur’an sangat terkait dengan kebudayaan Arab pada abad ke-7 dan sudah tidak layak pakai lagi bagi masyarakat modern abad ke-21. Tetapi kemudian konsepsi lemah yang ditawarkan Nasr Hamid ini coba untuk dibuat terkesan ilmiah dan rasional dengan mengatakan Al-Qur’an selain sebagai produk budaya juga merupakan produsen budaya. Fakta Al-Qur’an sebagai sebuah produsen budaya, yang merubah budaya bangsa Arab Jahiliyah menjadi kebudayaan Islam yang sangat tinggi, terasa begitu kuat dan dipahami bahkan oleh orang awam sekalipun. Fakta ini, bagi Nasr Hamid, tentu tak bisa serta merta dinafikan kemudian diberikan tawaran yang jauh berbeda.

Konsep Al-Qur’an sebagai sebuah produk budaya, didasarkan pada pemahaman awal bahwa sebuah kebudayaan tidak dapat dipisahkan dengan bahasa. Keterkaitan bahasa dan budaya menjadikan Al-Qur’an yang merupakan teks bahasa (nash lughawi) kemudian juga diartikan sebagai teks manusiawi (nash insani). Walaupun Al-Qur’an merupakan teks ilahi (nash ilahi) tetapi kemudian termanusiawikan karena berada dalam ruang dan waktu tertentu. Menurut konsep ini, akulturasi Al-Qur’an sebagai teks ilahi menjadi teks manusiawi bahkan sudah terjadi pada kali pertama Rasulullah SAW membacakan teks Al-Qur’an di hadapan para Shahabat. Pemahaman Muhammad SAW atas teks mempresentasikan tahap paling awal interaksi teks dengan akal manusia, yang kemudian menjadi sebuah kebudayaan. Konsep ini jelas bertentangan dengan firman Allah sendiri: “Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian kami potong pembuluh jantungnya” (Al-Haqqah: 44 – 46). Allah juga berfirman: “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut hawa nafsunya. Tidak lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan” (An-Najm: 3 – 4). Dari ayat-ayat diatas Allah dengan sangat tegas telah menyatakan bahwa tidak ada sedikitpun campur tangan Muhammad SAW terhadap teks Al-Qur’an.

Fakta ini semakin diperkuat dengan fakta sirah nabawiyah, bahwa Muhammad SAW adalah Rasul yang ummi, tidak bisa baca dan tulis (Lihat Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam dan Shafiyurrahman Al-Mubarakfury). Fakta ini menafikan sama sekali campur tangan Muhammad SAW dalam teks Al-Qur’an yang memiliki nilai kekuatan bahasa yang sangat tinggi, yang meniscayakan pembuatnya atau minimal pihak yang turut campur dalam pembuatannya memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidang bacaan dan tulisan Arab.

Kemurnian Al-Qur’an dari campur tangan manusia juga terlihat dari banyak bagian teks Al-Qur’an yang memiliki makna baru yang berbeda dari makna yang dipahami oleh bangsa Arab pada abad ke-7. Kata ‘karamah’, misalnya, yang sebelumnya bermakna ‘memiliki banyak anak, harta, dan karakter tertentu yang merefleksikan kelelakian’, diubah Al-Qur’an dengan memperkenalkan unsur ketakwaan (taqwa). Contoh lain, juga pada ‘ikhwah’, yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan. Ini diubah maknanya oleh Al-Qur’an, dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah (lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization - Kuala Lumpur: ISTAC, 1998, dalam Adnin Armas, Kritik Terhadap Teori Al-Qur’an Abu Zayd).

Jelas sekali, tawaran konsepsi Al-Qur’an sebagai produk budaya yang bertujuan untuk melakukan desakralisasi terhadap Al-Qur’an merupakan konsepsi yang lemah dan mengada-ada. Konsep ini juga semakin membuktikan bahwa ada upaya sistematis dari musuh-musuh Islam untuk menghancurkan sendi-sendi ajaran Islam. Mereka tak sudi Islam kembali jaya dan menjadi mercusuar peradaban dunia. Sayangnya, langkah ini diikuti oleh anak-anak kaum muslim sendiri yang sangat bangga dengan label pengusung Islam liberal.

Baca selengkapnya...

Hizbut Tahrir Indonesia

INSISTS Official Site

Jurnal Ekonomi Ideologis

Buku Tamu


ShoutMix chat widget

  © Blogger template Nightingale by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP