Tak Sekedar Kesuksesan Dunia

Selasa, 28 Oktober 2008


Ada cerita menarik yang menggugah batin saya dalam buku Berani Kaya, Berani Takwa tulisan Ust. Anif Sirsaeba. Di awal buku tersebut, ust. Anif menceritakan seseorang yang kaya raya. Segala fasilitas dia punya. Segala kemewahan dunia dia raih. Mobil, rumah, anak, istri, dan lain sebagainya, dimilikinya dengan sempurna. Tapi ia pelit (bakhil) dalam arti sesungguhnya. Ia angkuh dengan kekayaannya. Seolah ia tak butuh dengan tetangganya. Apalagi dengan orang lain yang lebih jauh. Ia berpikiran bahwa uang, kekayaan, materi adalah segala-galanya. Dengan orang yang lebih miskin ia tak mau menyapa. Ada orang meminta bantuan kepadanya, ia malah menghardiknya. Apa buah yang diraihnya? Semua orang membencinya. Semua orang mendoakannya yang tidak-tidak. Bahkan, seolah telah menjadi kesepakatan umum, ia dikucilkan oleh tetangganya. Ia tidak dihormati sama sekali. Perlakuan masyarakat seperti itu akhirnya membikin dia stres, sakit, jiwanya guncang. Dan pamungkasnya, dia meninggal dalam keadaan gila dalam arti yang sesungguhnya. Na’udzubillah!

Apakah kekayaan merupakan kehinaan? Saya rasa tidak. Allah Swt sendiri telah memerintahkan kita untuk kaya. Ya, harus kaya. Kalau tidak kaya, kita tidak akan bisa mengeluarkan zakat dan infaq fi sabilillah. Kalau tidak kaya, kita tidak akan bisa membiayai orang-orang yang berjihad atau orang-orang yang menuntut ilmu. Kalau tidak kaya, kita tidak akan bisa melaksanakan ibadah haji. Miskin itu tidak enak. Miskin itu susah. Bahkan miskin itu mendekatkan kita pada kekufuran. Na’udzubillahi min dzalik! Rasulullah itu kaya. Dia pedagang tangguh dan ulung. Khadijah istrinya adalah enterpreneur paling sukses dan paling kaya saat itu. Kalau begitu, mengapa kekayaan bisa menghinakan, bahkan membuat pemiliknya meninggal dalam keadaan gila?

Ternyata ada kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh orang yang diceritakan ust. Anif Sirsaeba tersebut. Dia mencari kekayaan agar dihormati dan dihargai oleh orang lain. Ia berpikir hanya dengan kekayaanlah ia bisa dihormati. Inilah pemahaman keliru, yang menyebabkan dia terhina di dunia dan mungkin juga di akhirat.

Apakah fenomena ini hanya berlaku bagi pencari kekayaan. Saya rasa ini hanya salah satu contoh. Contoh, bahwa motivasi yang keliru bisa menghancurkan segalanya. Kekayaan yang telah dirintis berpuluh tahun, ternyata tak menghasilkan kebahagiaan dalam arti sesungguhnya di dunia dan akhirat. Kekayaan tersebut ternyata malah menyebabkan hidup pemiliknya tak tenang dan bahkan meninggal dalam keadaan gila. Kekayaan, yang seharusnya untuk mempermudah diri mencapai derajat takwa, ternyata dicari untuk mendapatkan kehormatan dan penghargaan manusia. Sebuah kekeliruan motivasi. Dan ini bukan hanya pada kekayaan materi, ini juga terjadi pada ilmu.

Ilmu yang dituntut para pencari ilmu, akan mampu membawa orang pada derajat tertinggi di dunia dan di akhirat. Tapi, ilmu juga bisa menjatuhkan para pencari dan pemiliknya pada tingkat kehinaan tertinggi di sisi Allah. Lagi-lagi, karena motivasi. Ilmu yang digunakan untuk menyebarkan kebaikan dan rahmat bagi sebanyak-banyaknya orang, akan menyebabkan pemiliknya mencapai derajat takwa. Sedangkan, ilmu yang digunakan untuk meraih ridha manusia, mengharap penghormatan dan penghargaan dari orang lain akan mengakibatkan kehinaan bagi pemiliknya. Ilmu yang dimilikinya tak bermanfaat, kecuali menambah jauh dari Allah Swt. Bukan kemuliaan yang didapatkannya, tapi kehinaan di sisi manusia dan di sisi Allah Swt. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah tsumma na’udzubillah min dzalik!

0 komentar:

Hizbut Tahrir Indonesia

INSISTS Official Site

Jurnal Ekonomi Ideologis

Buku Tamu


ShoutMix chat widget

  © Blogger template Nightingale by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP