Dakwah Para Pewaris Nabi

Selasa, 28 Oktober 2008


Ketika umat Islam sudah tak kenal lagi agamanya, ketika ajaran Islam sudah tak diindahkan lagi, ketika Syariah Islam dicampakkan di tempat sampah, kita butuh dakwah. Dakwah yang akan mengembalikan kesadaran umat Islam akan pentingnya menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai petunjuk hidup. Dakwah yang akan membuka mata dunia bahwa hanya pada Islam lah terdapat kebahagiaan sejati dan keselamatan. Dakwah yang bertujuan untuk mengembalikan kehidupan Islam seperti kehidupan pada masa Rasulullah SAW dan para Shahabat Radhiyallahu ‘anhum.

Dakwah merupakan aktivitas yang teramat mulia, bahkan pekerjaan yang paling mulia. Aktivitas ini merupakan aktivitas utama para Nabi dan Rasul di setiap zaman, dan adakah manusia yang lebih baik daripada para Nabi dan Rasul? Sebuah keniscayaan, setiap orang yang meneladani aktivitas para Nabi dan Rasul tersebut tentu juga akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah. Tapi, apakah setiap orang yang berdakwah akan mendapatkan kemuliaan seperti para Nabi dan Rasul? Apakah setiap orang yang menyandang status pengemban dakwah berarti mereka adalah orang yang mulia?

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada (agama) Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata sesungguhnya aku ini termasuk golongan orang-orang muslimin.” [QS. Fushshilat: 33]. Ayat ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan kemuliaan para pengemban dakwah. Betapa tidak, dengan sebuah pertanyaan retoris, Allah menyatakan bahwa tidak ada perkataan yang lebih baik dari pada kata-kata dakwah. Luar biasa. Berarti secara otomatis, setiap pengemban dakwah adalah orang mulia yang melakukan pekerjaan besar dan terbaik di sisi Allah. Iya kan?

Dalam kitab Riyadush Shalihin yang sangat terkenal itu, terdapat hadits yang juga sangat dikenal dan dicantumkan di urutan pertama kitab kumpulan Hadits tersebut. Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim yang jalur sanadnya sampai pada Rasulullah melalui Umar bin Khattab, Amirul Mu’minin, menyatakan bahwa setiap amal (tentu yang dimaksud adalah semua amal yang baik) akan mendapatkan nilai di sisi Allah tergantung dari niat pelakunya. Jika amal tersebut diniatkan untuk mengharapkan Ridha Allah, maka pelakunya akan mendapatkan Ridha Allah dan surga-Nya di akhirat kelak. Tapi, jika amal tersebut diniatkan karena selain Allah, maka jangan pernah berharap mampu melihat wajah Allah di surga kelak. Amal yang dimaksud hadits ini bersifat umum, termasuk amal dakwah.

Para pengemban dakwah pun juga terkena kewajiban untuk ikhlas dalam amal dakwahnya. Tidak boleh berdakwah, kecuali dengan niat mengharapkan Ridha Allah. Rasanya ini sudah sangat dipahami oleh semua da’i. Setiap da’i tentu telah tahu bahwa dalam setiap amalnya dia harus ikhlas. Tapi, begitu mudahkah sifat ikhlas tersebut mengikuti amal dakwah?

Pernah terdengar satu kalimat yang diucapkan oleh seorang yang menyandang status pengemban dakwah. Dan rasanya kalimat ini perlu ditelaah kembali kebenarannya. Aktivitas dakwah ini ternyata memang mengharuskan keikhlasan, bahkan kita susah untuk tidak ikhlas. Bahkan kita susah untuk tidak ikhlas, inilah kalimat tersebut. Benarkah dalam aktivitas dakwahnya, setiap pengemban dakwah susah untuk tidak ikhlas? Berarti mereka telah menilai bahwa mereka adalah orang yang ikhlas?

Entah seperti apa jalur periwayatan kalimat ini, yang jelas kalimat ini bukan cuma dikatakan oleh satu orang. Bahkan, kalimat ini seakan-akan merupakan sebuah slogan untuk membesarkan hati para pengemban dakwah, sebuah kalimat motivasi. Yang menjadi pertanyaan, apakah kalimat ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya?

Kalimat tersebut biasanya keluar dalam kondisi kelelahan dalam menjalankan aktivitas dakwah berjamaah. Kita sudah sangat paham, salah satu karakteristik dakwah berjamaah yang selama ini dipahami adalah bahwa tidak setiap pengemban dakwah harus bicara di depan umum. Berdakwah bisa dengan menjadi panitia sebuah seminar dakwah, misalnya seksi konsumsi, yang tak ada hubungannya dengan cuap-cuap di hadapan orang banyak. Biasanya juga, orang-orang yang menjadi panitia kegiatan tersebut, apalagi yang hanya menjadi anggota seksi, adalah orang yang termarjinalkan. Tidak seperti sang pembicara seminar yang mendapatkan tepuk tangan meriah plus amplop tipis, atau ketua panitia yang mendapat pujian selangit jika acara seminar berlangsung sukses, anggota seksi tak pernah mendapatkan keberuntungan tersebut. Paling baik, mendapatkan ucapan terima kasih dan terhindar dari kemarahan ketua panitia. Dalam kondisi seperti itu, mencuatlah kalimat tersebut sebagai motivasi agar tidak futur.

Kondisi lain misalnya adalah ketika seorang ketua umum lembaga dakwah, ketika menyiapkan sebuah kegiatan dakwah yang cukup besar ternyata tak mendapatkan dukungan dari yang lain. Dari menjadi ketua panitia, memimpin rapat, menjadi seksi konsumsi sampai menjadi mc harus dilakukan oleh dirinya sendiri. Akhirnya untuk menghibur diri, keluarlah kalimat tersebut dari lisannya. Pertanyaannya sekarang, dalam kondisi seperti itu, apakah ucapan tersebut benar-benar menunjukkan keikhlasannya atau sekedar untuk menutupi kekecewaan dirinya karena tak mendapatkan penghargaan yang semestinya?

Jawabannya memang tidak bisa kita tentukan, itu kembali ke masing-masing orang. Apalagi keikhlasan adalah urusan hati yang tidak bisa dilihat secara kasat mata. Tapi, bahwa kalimat seperti itu benar seratus persen, sepertinya juga perlu dikoreksi. Keikhlasan tidak bisa hanya diukur dari kepasrahan (kesabaran?) seseorang ketika dalam menjalankan aktivitas dakwahnya ia tidak mendapatkan penghargaan seperti orang lain. Banyak sekali alasan yang bisa diajukan yang mungkin menjadi penyebab kepasrahan orang tersebut selain keikhlasan. Ada orang yang terpaksa menerima begitu saja keadaan dirinya karena khawatir kalau ia memberontak atau menunjukkan ketidak senangan ia akan dikucilkan dari komunitasnya, yaitu komunitas pengemban dakwah. Perlu diketahui, sangat banyak orang yang lebih takut dikucilkan dari sebuah komunitas yang ia eksis didalamnya daripada takut kehilangan harta. Dengan alasan takut dikucilkan, ia kemudian menunjukkan sikap pasrah yang kemudian dikatakan sebagai sikap ikhlas.

Sekarang, kita tilik secara umum, benarkah para pengemban dakwah sangat susah dihinggapi ketidak ikhlasan atau malah sebaliknya. Satu contoh, ada satu orang aktivis dakwah yang menjadi trainer terkenal. Setiap mengisi training ia selalu mampu menghipnotis ratusan peserta untuk menerima apa saja yang ia katakan. Imbalannya, ia mendapatkan sanjung puji dari banyak pihak. Banyak tokoh yang merekomendasikannya. Dengan kondisi seperti ini, kucuran uang juga tak terhindarkan. Pada kasus seperti ini, apakah tepat kalimat susah untuk tidak ikhlas. Dikelilingi oleh berbagai faktor yang mudah memalingkan seseorang dari keikhlasan seperti uang, sanjung puji, dan dikenal banyak orang bak selebritis apakah masih tepat kalimat bahwa pengemban dakwah susah untuk tidak ikhlas.

Dengan status sebagai trainer terkenal, kadang-kadang sang trainer tidak bersedia menjadi trainer untuk training kecil yang pesertanya mungkin masih bisa dihitung dengan jari, dengan alasan memberi kesempatan kepada yang lain. Kecurigaan wajar muncul di pikiran kita, jangan-jangan dia telah bersikap seperti artis top yang tak mau berperan di peran-peran kecil atau berperan di film kurang bermutu. Mungkin dengan alasan sama, agar status kehebatannya tak tercemar dengan menjadi trainer di kegiatan training level rendah.

Itu satu contoh. Bagaimana dengan kebanggaan seseorang memakai status kiyai haji, ustadz, motivator, ustadz gaul, dll. Apakah pengakuan orang tentang status mereka yang ingin didapatkan atau keridhaan Allah SWT. Bagaimana pula dengan orang yang menghidupi dirinya dengan aktivitas dakwah. Menjadi trainer di acara training A mendapatkan bayaran 1 juta, lima kali mengisi training dalam sebulan sudah lima juta yang didapatkan, lebih besar daripada gaji guru. Jadi imam tarawih, sekali dapat 100 ribu, bagaimana jika setiap malam dia menjadi imam tarawih, berapa fulus yang didapatkan. Belum lagi ditambah mengisi pengajian setelah shubuh dan pengajian-pengajian lainnya. Apakah dengan kondisi itu, pengemban dakwah masih susah untuk tidak ikhlas?

Ya, harus kita akui, ternyata menjadi pengemban dakwah sangat rentan dengan ketidak ikhlasan. Perubahan niat mudah sekali terjadi dengan banyaknya godaan duniawi di sekitar pengemban dakwah. Maka, mudah-mudahan kita bisa menjadi pengemban dakwah yang selalu ikhlas dalam setiap aktivitas kita dan benar-benar layak menjadi pewaris Nabi SAW.

0 komentar:

Hizbut Tahrir Indonesia

INSISTS Official Site

Jurnal Ekonomi Ideologis

Buku Tamu


ShoutMix chat widget

  © Blogger template Nightingale by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP