Membendung Arabisasi Ala Abdul Moqsith Ghazali

Kamis, 30 Oktober 2008


Saya tertarik menanggapi tulisan Abdul Moqsith Ghazali di situs Islamlib.com yang berjudul Ulama Arab dan Ulama Indonesia. Sebagai seorang yang ingin bersikap objektif, saya akui tulisan Abdul Moqsith Ghazali ini punya semangat positif yang harus diapresiasi yaitu bahwa tidak ada bedanya antara Arab dan ‘Ajam, tidak ada bedanya antara ulama Arab dan ulama ‘Ajam, yang membedakan satu dengan yang lain hanyalah kualitas ketaqwaan dan keilmuwannya. Saya yakin kita semua sepakat dengan hal ini.

Tapi, kita patut curiga dengan tulisan dari Abdul Moqsith Ghazali tersebut karena sepak terjangnya dan kelompok JIL-nya yang selama ini selalu berusaha menghancurkan Islam dan ajaran Islam yang mulia dari dalam. Kecurigaan ini menjadi semakin berdasar ketika kita membaca utuh tulisannya tersebut. Coba kita analisa secara sederhana beberapa kutipan tulisannya di artikel tersebut.

“Sementara para ulama non-Arab dianggap pinggiran dan karya-karyanya dipandang sebelah mata. Ini, salah satunya, karena ulama non-Arab diposisikan sebagai orang `ajam (asing) yang tak cukup memadai untuk memahami detail dan seluk beluk ajaran Islam, agama yang memang pertama kali lahir di Arab. Jika orangnya dianggap `ajam, maka kitab-kitabnya pun dianggap ghair mu`tabarah (kurang absah), sehingga tak pantas menjadi referensi umat Islam.”

Dari kutipan paragraf diatas, kita bisa melihat bahwa ada pernyataan yang membabi buta dari seorang Abdul Moqsith Ghazali yang seakan-akan ingin memprovokasi umat Islam Indonesia bahwa ada ketidak adilan dalam dunia Islam. Seakan-akan karya ulama non-Arab dianggap tak bermutu dan tak berguna di dunia Islam. Pernyataan ini jelas berbahaya karena akan semakin memicu perpecahan dunia Islam yang memang sekarang sudah pecah. Pernyataan ini juga ternyata tak benar-benar sesuai fakta karena ada banyak karya ulama Indonesia kontemporer yang diakui di dunia internasional, misalnya: DR. Sayyid Muhammad Aqil al-Mahdaly (Bugis) dari ‘Ain Syams, yang telah mengarang lebih 50 judul buku tentang aqidah dan filsafat dan diterbitkan oleh Darul Hadits Mesir; DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni (Bugis) dari Cairo Univ. thesis master beliau (Masail alal-I’tiqadiyah Inda al-Imam al-Qurthubi) di cetak oleh Muassasah al-’Alya Mesir th 2006. dan Thesis Ph.D (Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli as-Sunnah Min Aqidah al-Bathiniyah wa Falsafatuha) tahun ini sedang proses cetak di Darul Kutub al-Ilmiah, Beirut. Itu baru beberapa contoh dari sekian banyak karya ulama Indonesia yang diakui dunia Islam.

“Keulamaan dalam Islam makin kuat beraroma Arab-Timur Tengah. Para ilmuwan dari sana menjadi kiblat dan kitab-kitabnya serta fatwa-fatwanya menjadi rujukan umat Islam yang tinggal di kawasan lain. Dahulu, Ratu Kamalat Sjah dimakzulkan sebagai Ratu Kerajaan Aceh Darussalam (tahun 1699), setelah ulama Mekah mengharamkan perempuan menjadi pemimpin atau ratu. Sebagian ulama nusantara pernah menolak Megawati sebagai (calon) presiden berdasar pada fatwa ulama Arab. Ketika terjadi soal atau kasus di suatu kawasan, para tokoh agama di daerah itu kerap meminta jawaban pada ulama Timur Tengah, seperti Yusuf Qardawi, Wahbah al-Zuhaili, dan lain-lain. Mereka mentaklid pendapat-pendapat yang datang dari sana. Walhasil, Arab merupakan sumber otoritas keulamaan dan parameter kesahihan sebuah tafsir dalam Islam. Sehingga, pengembangan keilmuan Islam pun bisa efektif kalau dilakukan para ulama Arab-Timur Tengah.”

Dari konstruksi tulisan Abdul Moqsith Ghazali diatas, jelas ada upaya penyesatan terhadap pemahaman umat Islam. Contoh yang digunakan untuk menunjukkan hegemoni ulama Arab atas ulama Indonesia adalah tentang keharaman perempuan sebagai penguasa. Disini Abdul Moqsith Ghazali ingin mengambil dua keuntungan sekaligus, pertama dia ingin menunjukkan bahwa selama ini kita terlalu percaya dengan ulama Arab-Timur Tengah dan sebaliknya menafikan keberadaan ulama Indonesia, dan yang kedua, dia ingin menunjukkan bahwa keharaman perempuan sebagai penguasa hanya pendapat ulama Arab yang masih sangat perlu untuk diperdebatkan. Padahal kalau kita mau menelaah kitab-kitab klasik dan kontemporer tulisan ulama seluruh dunia, bukan hanya Arab tapi juga Andalusia, India, Asia Tengah termasuk Indonesia, jelas sekali tidak ada perbedaan pendapat bahwa perempuan haram menjadi penguasa. Hanya cendekiawan keblinger yang menentang pendapat ini.

Jelas, ada motif tersembunyi dari tulisan Abdul Moqsith Ghazali ini, yaitu penentangan terhadap Islamisasi di Indonesia. Kalangan liberal, yang merupakan antek zionis, berusaha sekuat tenaga untuk membendung semakin berkembangnya Islam politik yang mengusung ide penerapan Syariah Islam secara kaffah dan persatuan asasi umat Islam. Mereka mencoba menghembuskan keburukan ide Islamisasi yang disama artikan dengan Arabisasi. Mereka menyebarkan teror bahwa dengan Islamisasi dan Arabisasi umat Islam Indonesia akan kehilangan identitasnya dan akan terpinggirkan. Mereka kemudian mencoba merusak konstruksi Syariah Islam yang sudah baku dengan mewacanakan Fiqh Indonesia, yang sangat kelihatan tak berdalil tapi tapi lebih banyak bertendensi hawa nafsu. Mereka juga mencoba meruntuhkan kewibawaan ulama Arab-Timur Tengah, salah satunya dengan tulisan Abdul Moqsith Ghazali tersebut, kemudian menawarkan ‘ulama Indonesia’ dari kalangan mereka sendiri seperti Nurcholis Madjid, Masdar F Mas’udi, Ulil Abshar Abdalla termasuk Abdul Moqsith Ghazali sendiri untuk dijadikan rujukan umat Islam Indonesia.

1 komentar:

Unknown 2 November 2008 pukul 16.10  

Islamisasi bukan merupakan ancaman bagi Indonesia. Islamisasi Indonesia merupakan lanjutan dari dakwah Walisongo, jadi kalau ada yang menolak program Islamisasi Indonesia berarti juga menolak dakwah Walisongo.

Hizbut Tahrir Indonesia

INSISTS Official Site

Jurnal Ekonomi Ideologis

Buku Tamu


ShoutMix chat widget

  © Blogger template Nightingale by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP